Skip to main content

REFERENDUM ACEH 1999

Memori Referendum Aceh 1999

Kenangan rakyat Aceh pada Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, 8 November 1999. Kala itu, semua elemen masyarakat bersatu tekad mengakhiri konflik Aceh secara bermartabat. Salah satu isu yang mencuat adalah referendum. Saat itu, di
keude kupi, terdengar sayup-sayup pekikan “merdeka” atau “referendum”. Sidang rakyat yang diklaim dihadiri lebih dari 1,5 juta rakyat Aceh di pelataran Masjid Raya Baiturrahman tersebut, selain meluapkan kemarahan terhadap ketidakdilan yang menimpa Aceh, rakyat juga diajak mendengarkan orasi tokoh-tokoh Aceh. Rakyat Aceh dengan senang hati menggunakan ikat kepala bertuliskan “Referendum.” Emosi mereka diaduk-aduk oleh isi pidato heroik dari tokoh Aceh. Pelataran masjid menjadi saksi pekikan “Allahu Akbar”, alunan shalawat nabi, hikayat Prang Sabi, dan zikir. Sidang tanpa kekerasan tersebut, dipandu sejumlah tokoh-tokoh Aceh dari atas mimbar. Ada Akmal Abzal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (Ketua Panitia), Tgk Nuruzzahri (HUDA), Tgk Bulqaini Tanjongan (pimpinan Rabithah Thaliban Aceh), Fajri M Kasim (tokoh mahasiswa), Cut Nur Asikin (aktivis perempuan), Tgk Muhammad Yus (Ketua DPRD Aceh), dan M Nasir Djamil (anggota DPRD Aceh). Saat itu, tokoh pertama yang melakukan orasi adalah Nuruzzahri sebagai wakil dari kalangan ulama. Dalam orasinya, ia menyebutkan, Allah swt telah memperlihatkan kepada dunia hari ini, bagaimana hasrat dan keinginan suci rakyat Aceh yang tertindas, ditipu dan dizalimi puluhan tahun, telah bisa bersatu di Banda Aceh di rumah Tuhan menyuarakan tuntutan referendum. Orasi kedua disampaikan oleh Fadjri M Kasem. Ia menyebutkan mahasiswa tetap berkomitmen terus memperjuangkan tuntutan rakyat Aceh. Tgk Bulqaini Tanjongan yang menyampaikan orasi ketiga saat itu menyebutkan, apa yang dikatakan pemerintah pusat bahwa hanya sebagian rakyat Aceh yang menuntut referendum Aceh adalah bohong. Ia meminta agar pejabat-pejabat Aceh jangan ada lagi yang melaporkan ke Jakarta kalau rakyat Aceh hanya sedikit meminta dilaksanakan Referendum. “Hari ini telah dibuktikan oleh seluruh rakyat Aceh bersatu padu ke Banda Aceh menyuarakan aspirasi dan tuntutannya terhadap Referendum,” tandas Bulkaini. (baca: Serambi Indonesia, 9 November 1999). Orasi keempat disampaikan oleh Cut Nur Asikin. 
Pidato Cut Nur Asikin yang telah almarhum saat tsunami tahun 2004 bisa juga dilihat dalam film “Black Road”
karya William Nessen. Dia dengan bersemangat mengatakan, rakyat Aceh akan memperjuangan referendum hingga titik darah penghabisan. Pada pukul 11.05 Wib, tampil Tgk Muhammad Yus. Ketika itu ia berjanji akan meneruskan perjuangan yang dikehendaki rakyat Aceh. Muhammad Yus juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat itu hanya baru sebatas sebagai ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu dan sampai kemarin belum mendapat pengesahan. Karenanya, Muhammad Yus saat itu memanggil pimpinan sementara DPRD Aceh, Nasir Djamil (anggota termuda) untuk bersama-sama menyampaikan serta membaca komitmen DPRD Aceh dan Pemda Aceh. Komitmen itu antara lain, Pertama, mengakui bahwa tuntutan dan perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Aceh melalui sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional. Kedua, berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh secara transparan, damai, dan demokratis. Ketiga, berjanji menolak segala bentuk militerisme di Aceh. Keempat, apabila kami mengingkari komitmen-komitmen tersebut, maka kami berhak diberikan hukuman sosial oleh seluruh rakyat Aceh. Demikianlah satu penggal sejarah Aceh. Tahun 2000, kegiatan serupa diadakan lagi. Namun tidak sebagus tahun 1999.

Dalam sidang kedua, tidak sedikit rakyat Aceh menjadi korban. Saat itu, mereka memberikan nyawa dan apapun demi Aceh. Kenangan pahit ini membuktikan bahwa rakyat Aceh bisa bersatu dalam kepedihan. Namun, rakyat tidak mungkin lagi bersatu dalam ketidakpedihan. Saat ini, tokoh-tokoh yang menyampaikan orasi dipelataran Masjid Raya Baiturrahman atau yang telah menggerakkan massa hingga berkumpul ke “Kutaraja” telah menjadi
pemimpin atau wakil rakyat. Kita tentu tidak tahu, apakah mereka masih punya semangat seperti tahun 1999. Demikian pula, kita tidak bisa memastikan, apakah rakyat masih bisa menyampaikan sikap seperti tahun itu. Amanat Sidang tersebut agaknya telah tenggelam dengan situasi Aceh sekarang. Sekarang Aceh miskin tokoh
dan pemimpin kharismatik. Rindu dengan orasi yang mampu memberikan spirit perjuangan bagi rakyat Aceh. Kerinduan kita bukanlah menghadirkan kembali konflik melainkan menarik kembali spirit mengisi perdamaian Aceh. 
Pengalaman referendum tahun 1999 memberikan alasan kuat mengapa orang Aceh mampu bersatu dalam kepedihan dan berkonflik ketika damai? Artinya, konflik bisa menyatukan rakyat Aceh yang beragam etnik dan bahasa dengan melupakan perbedaan- perbedaan. Namun ketika berada dalam satu gerbang perdamaian pasca-MoU Helsinki 15 Agustus 2005, yang terjadi malah saling sikut kiri kanan, lawan dianggap kawan sementara kawan diposisikan sebagai lawan, karena saat ini “pendapat” tidak perioritaskan tetapi “pendapatan” yang dituhankan. Setelah satu dekade referendum, perjuangan politik rakyat Aceh berubah total. Kemesraan semua lini perjuangan rakyat Aceh telah sirna. Saya menginginkan semua elemen perjuangan tahun 1999 bisa bersatu kembali mengambil spirit referendum dalam menata Aceh lebik baik ke depan, buang perbedaan dikarenakan pendapatan, tetapi satukan pendapat demi masa depan anak cucu kita. Akhirnya, mari kita tarik kembali semangat referendum ini menjadi semacam spirit baru dalam membangun Aceh yang bermartabat. Sebab, sangat disayangkan jika korban dan darah rakyat Aceh hanya menjadi alat untuk membangkitkan kepentingan pribadi atau kelompok, jauhkan prinsip “meunyoe kon ie leuhob, meunyoe kon droe mandum gob”. 

* Penulis M Adli Abdullah Read more: http:// www.atjehcyber.net/2011/06/memori-
referendum-aceh-1999.html#
ixzz1f9KURsia

Comments

Popular posts from this blog

Negara Oman

Tak ada kesulitan sama sekali mengurus dokumen keimigrasian ke Oman terkesan sangat lancar dan mudah. Pekan terakhir Desember tahun lalu, saya dan delegasi dari Undip yang hendak melakukan negosiasi kerja sama akademik dan join-research dengan Sultan Qaboos University (SQU) di Muscat, Oman cukup berkomunikasi jarak jauh dengan pihak universitas. Hanya saling ber-email semuanya sudah beres. Oman termasuk negeri yang unik karena mempunyai dataran tinggi dan rendah dengan nuansa gurun plus pantai. Itu kombinasi landskap yang cantik. Kita bisa menikmati Taman Riyam di pinggir pantai bersama keluarga atau teman sambil menikmati kebab dan chicken tika, kopi Omani atau Mc Donald maupun Pizza. Ada tempat rekreasi pantai untuk publik di Marina Bandar Rowdha berdekatan dengan Marine Science and Fisheries Centre (Pusat Penelitian Perikanan Oman). Sebagai negeri gurun pasir, Oman dua musim, yaitu dingin dan panas.

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong