Skip to main content

Negara Oman

Tak ada kesulitan sama sekali mengurus dokumen keimigrasian ke Oman terkesan sangat lancar dan mudah. Pekan terakhir Desember tahun lalu, saya dan delegasi dari Undip yang hendak melakukan negosiasi kerja sama
akademik dan join-research dengan Sultan Qaboos University (SQU) di Muscat, Oman cukup berkomunikasi jarak jauh dengan pihak universitas. Hanya saling ber-email semuanya sudah beres. Oman termasuk negeri yang unik karena mempunyai dataran tinggi dan rendah dengan nuansa gurun plus pantai. Itu kombinasi landskap yang cantik. Kita bisa menikmati Taman Riyam di pinggir pantai bersama keluarga atau teman sambil menikmati kebab dan chicken tika, kopi Omani atau Mc Donald maupun Pizza. Ada tempat rekreasi pantai untuk publik di
Marina Bandar Rowdha berdekatan dengan Marine Science and Fisheries Centre (Pusat Penelitian Perikanan Oman). Sebagai negeri gurun pasir, Oman dua musim, yaitu dingin dan panas.

Pada bulan Desember hingga April udara terasa sangat bersahabat, sejuk dengan temperatur pada siang hari rata-rata 16 derajat Celcius, meskipun pada malam harinya amplitudo (beda suhu) relatif tajam. Namun jangan
ditanya betapa panasnya mulai bulan Mei dan hingga akhir November, pada siang hari suhunya mencapai 50 derajat Celcius. Kampus SQU begitu nyaman dan rindang. Kalau memasuki wilayahnya, kita seperti tak percaya kalau sedang berada di negeri berpadang pasir. Bisa disebut ia kampus hijau yang penuh tanaman yang berkombinasi dari jenis tumbuhan sub-tropis dan tropis. Begitu juga sepanjang jalan di kota Muscat.
Begitu rimbun dengan taman kota yang penuh bunga warna-warni layaknya musim semi di Eropa. Ya, dengan teknologi irigasi kapiler (springle) yang senantiasa terkontrol dan dibuat sistematis dengan jaringannya yang diletakkan tersembunyi di bawah permukaan tanah maka tersulaplah padang pasir menjadi hutan dan taman kota yang sangat fantastis. Berapa biaya investasi untuk itu semua? Itulah salah satu bentuk komitmen dari Sultan Qaboos, pemimpin Oman, agar negaranya punya prestise di mata dunia. Dahsyatnya kebijakan itu sangat didukung rakyatnya.
 Sudah disebutkan bahwa Oman adalah negeri gurun pasir yang juga memiliki laut. Wajar kalau negara kerajaan itu memiliki pusat penelitian perikanan.Dan jangan heran pula, di tempat-tempat strategis kita akan menjumpai gambar atau diorama perahu besar. Hal ini ada hubungannya dengan latar belakang sejarah negeri tersebut yang berciri maritim, baik dari struktur alamnya maupun kehidupan masyarakatnya. Pemimpin dan tokoh masyarakat Oman hingga sekarang masih membanggakan kekuatan sumber daya laut yang mereka punyai. Jadi, kebaharian adalah keunikan Oman lainnya. Kalau dibandingkan dengan masyarakat Arab pada umumnya yang lebih menyukai menu makanan sehari-hari berupa daging ternak (red meat), orang Oman lebih suka daging berjenis
white meat seperti ayam, kalkun, dan khususnya ikan laut. Bisa disebutkan salah satu menu kebanggaan mereka adalah bistik king fish, yaitu ikan yang mirip tengiri besar yang di bakar dengan mentega dan diberi saus khas dengan lemon dan kacang almon, dilengkapi kentang goreng. Rasanya sungguh lezat. 
BERKUNJUNG ke Oman belumlah lengkap tanpa mampir ke Benteng Nizwa yang menyimpan catatan historis kehidupan masyarakat Oman. Benteng itu termasuk ke dalam Provinsi Nizwa yang bisa ditempuh sekitar 1,5 jam dari Bandara Internasional Oman, Sultan Qaboos. Bangunan lama itu terkesan angker bila dilihat dari luar. Tapi setelah memasukinya, kita akan mendapatkan kesan lain. Ada daya tarik yang unik terutama bagi pengunjung dari Asia Tenggara. Di bagian depan benteng terdapat sumur tua lengkap dengan timba talinya serta bak mandi, mirip keadaan di pedesaan kita pada umumnya. Pembedanya hanya warna tanahnya yang relatif keputihan memberikan kesan dan nuansa yang lain. Memasuki benteng melalui lorong- lorong kecil, kita akan menjumpai
banyak jebakan (mungkin gambaran yang pernah kita lihat dalam film petualangan Indiana Jones. Jebakan itu bisanya berupa tangga yang terselubung dan seolah-olah bakal ambrol bila dipijak. Selain itu, ada banyak anjungan di dalam benteng tersebut. Anjungan-anjungan itu menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Oman, mulai dari anjungan dapur yang berisi segala peralatan dan perlengkapannya, ruang penggembala, ruang penimbunan makanan (logistik seperti kurma), anjungan untuk menerima tamu, dan ruang perhelatan besar hingga tempat peristirahatan, kamar perhiasan dan pakaian kebesaran, sarana untuk mengaji dan ibadah serta wahana untuk hiburan.
 Semuanya benar-benar tertata sesuai aslinya. Yang mengasyikkan, bila menaiki tangga benteng hingga ke puncak, kita akan dapat menikmati pemandangan kota Nizwa beserta hamparan wahdi (tempat penampungan air bah dari banjir bandang gurun yang sewaktu- waktu datang) dan hutan kurma, panorama yang galib di wilayah padang pasir. Nyaman benar, apalagi udara ketika itu sejuk sekali. Karena terlalu menikmati kenyamanan itu, kami sampai tak ingat waktu telah menunjuk jam 16.00 waktu setempat. Itu saat benteng ditutup dengan palang
kayu dan gembok besar. Kami lupa bahwa sebelum masuk tadi Dr Osman yang mengantar kami wanti-wanti soal disiplin waktu.
Kami tentu saja kelimpungan terjebak di dalam benteng itu. Alhamdulillah, penjaga benteng muncul dan membuka pintu tersenyum. Dan seperti lepas dari rasa cemas, kami puas-puaskan berjalan-jalan ke pasar tradisional dan pasar ikan terbesar di Nizwa. Masih banyak hal menarik di Oman yang rasanya sayang sekali kalau kami lewatkan. Salah satunya adalah pergi ke sebuah kampung di pinggiran Muscat yang memiliki falaj. Itu sumber air besar yang mirip oase. Di tempat itu, kami menyaksikan kebesaran Allah dalam ujud sumber air yang tak pernah kering di tengah kegersangan padang pasir. Perlu diketahui, sumber air itu menjadi nadi kehidupan masyarakat di sana dan dikelola oleh masyarakat lokal (adat) dari dulu hingga sekarang secara turun-menurun. Sistem pengelolaannya berbasis pada masyarakat (community-based management) dan berjalan dengan
lancar. Pihak kerajaan hanya memberikan fasilitas dan pengembangan teknologinya saja. Kata orang di sana, bila kita minum air dari falaj, Insya Allah kita akan mendatangi tempat itu lagi.
Mendengar itu, kami tertarik juga untuk mencobanya. Airnya sangat jernih dan segar diminum. Sembari minum, kami berdoa semoga kami bisa kembali ke situ suatu hari. Kampung Omani dan Kelezatan Menu Turki Di suatu tempat asing, tentu saja kalau kita punya waktu, pasti memiliki keinginan untuk menyaksikan secara langsung
bagaimana kehidupan masyarakatnya. Beruntung selama di Oman, saya dan rombongan berkesempatan datang ke kampung Omani. Dr Osman, seorang dosen dari Sultan Qaboos University dengan antusias mengantar kami ke sebuah kampung di sekitar Nizwa. Umumnya, perumahan di sana tanpa atap. Konstruksi seperti itu tentu untuk mengindari badai gurun yang bisa terjadi setiap saat. Ada pula rumah tradisional yang ditutup rumbia dari daun pelepah kurma. Tentu saja ada perumahan yang modern dengan konstruksi beton dan berpagar otomatis. Perkampungan itu tidak padat. Di sana-sini terdapat hamparan padang pasir dengan pohon-pohon kurma dan aliran air dari falaj. 
Penduduknya pun terbilang ramah. Mereka selalu menyapa, ”Assalamualaikum, tayyib ?” atau ucapan ”ahlan wa syahlan” (selamat datang). Keramahan itu tentu saja membuat kami nyaman dan gembira ketika berkeliling kampung tersebut. Di luar itu, kalau kita berada di tengah gurun Oman pada saat udara sejuk, jangan sampai kita melewatkan suasana di tepi pantai sembari memandangi bukit-bukit pasir yang tampak bergurat-gurat. Paling nyaman kalau suasana itu ditemani kopi Omani atau cappuccino. Bila kita berjalan-jalan di dekat pasar (souq) di Matrah atau Nizwa, kita juga bisa mengudap menu yang ditawarkan restoran Turki, India, Arab, dan Omani. Umumnya pengelola restoran-restoran itu menggelar meja dan kursi di luar ruangan (outdoor resto). Jadi,
pengunjung bisa menikmati menu sembari berjemur seperti kalau kita sedang berada di resto atau cafe di Eropa pada musim panas. Ada satu menu istimewa dari restoran Turki. Konon, restoran itu jadi ampiran para turis yang berkunjung ke Oman. Jadilah kami memesan chicken tika dan chicken grill. Harga per porsinya 2,50 riyal Omani (sekitar Rp75 ribu). Ketika disajikan, kami terlonjak memandangi menu di meja. Porsinya sangat banyak. Itu wajar, karena porsi sebanyak itu sudah galib bagi orang Arab. Kalau diperbandingkan, ya kira-kira dua kali porsi menurut ukuran umum orang Indonesia. Wah, kami harus siap kekenyangan. Apalagi rasa ayam panggang
dengan kentang yang dicolek saus dan dicampur dengan minyak samin dan kucuran jeruk atau limau plus ditambah salad tomat, timun dan selada itu sangat enak. Itu masih harus ditambah minuman segar berupa jus jeruk dan teh Turki rasa mint. Hanya satu kata yang bisa kami ucapkan sembari mengacungkan
ibujari, ”Tayyib, tayyib…” (liburan.info)

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong