Skip to main content

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet


"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan"

Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat.

Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.


Sementara itu, sebagian anak kecil lainnya mulai bermain permainan yang biasa mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain waktu anak-anak usia sekolah ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke ladang.

Siang pun tiba, matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang. Suhu yang biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang, mereka kembali bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah masing-masing.

Malam tiba, giliran anak-anak belajar mengaji dengan lampu penerangan seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan yang mereka terima dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada sekolahan apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.

Sebenarnya ada anak-anak yang bisa baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa baca tulis itu, ketika turun gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah bisa membaca dan menulis, sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan baca tulis.

Tetapi tidak lama, karena setelah keesokan harinya, anak-anak itu, kembali ke gunung, kata Teuku Raja Keumala, anak pertama dari istri kedua (alm) Raja Ubiet.

Diakui Teuku Raja Keumala, masyarakat yang berada di Gunung Ijo atau Krueng Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka bisanya mengaji, karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut. Kecuali, ujarnya, keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong (kuat) atau yang telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.

Masih ingat apa yang dikatakan nek tu alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala) bahwa mereka dilarang atau terlarang turun hingga menyeberang sungai Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong. Bisanya kami, turun gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya membuka pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk keturunan Raja Ubiet disana, tukasnya lagi.

Beberapa diantara keturunan Raja Ubiet atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet, Raja Tampuk lari dari kejaran Belanda, memang ada yang bermukim di Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka telah menyeberang sungai itu, maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar petuah orang tua, namun tidak serta merta dikucilkan.

Selain pendidikan yang tidak ada sama sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat pun, masyarakat hanya ke dukun setempat yang meramu obat-obatannya dari tanaman di sekitar hutan. Menurut Teuku Raja Keumala, sama dengan sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri yang dipercaya masyarakat untuk mengobati sakit mereka.

Biasanya, sakit yang diderita pun hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit, sakit perut, kepala, luka-luka di gigit serangga atau luka gores. Tidak ada sakit yang aneh-aneh, seperti penyakit orang kotaan, tambah Teuku Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang sudah lama bermukim di Kota Banda Aceh.

Dituturkan Teuku Saudi, sebagian besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi kemajuan atau modernisasi, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan dengan kehidupan alamiah di tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng Itam, dikarenakan masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati daerah terlarang.

Gajah Pemalu

Diceritakan Teuku Raja Keumala, ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung Ijo atau Krueng Itam, mereka harus berjalan seharian penuh di tepi sungai Krueng Tripa yang sebagian besarnya agak mendatar. Setelah menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya setinggi dada seorang pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian Sungai Krueng Itam.

Keesokan harinya, jalannya akan mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan Pidie Jaya. Tak ada akses jalan ke tempat lainnya, tukas Teuku Raja Keumala.

Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan raja. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.

Raja Keumala menilai kalau gajah itu merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.

Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor tukang menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.

Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.

Tertegun

Ketika Raja Keumala melihat foto dirinya di koran ini. Ia dengan seksama memperhatikan, lama matanya tidak berpindah dari koran tersebut. Entahlah apa yang ada dipikirnnya, tetapi sebuah senyum pun tersungging di bibirnya, tatkala sepupunya mengatakan, dia telah masuk koran. Beberapa kali dicobanya memegang koran Rakyat Aceh. Senyum pun kembali tersungging. (ian)

Sumber :Rakyat Aceh

Comments

Popular posts from this blog

Negara Oman

Tak ada kesulitan sama sekali mengurus dokumen keimigrasian ke Oman terkesan sangat lancar dan mudah. Pekan terakhir Desember tahun lalu, saya dan delegasi dari Undip yang hendak melakukan negosiasi kerja sama akademik dan join-research dengan Sultan Qaboos University (SQU) di Muscat, Oman cukup berkomunikasi jarak jauh dengan pihak universitas. Hanya saling ber-email semuanya sudah beres. Oman termasuk negeri yang unik karena mempunyai dataran tinggi dan rendah dengan nuansa gurun plus pantai. Itu kombinasi landskap yang cantik. Kita bisa menikmati Taman Riyam di pinggir pantai bersama keluarga atau teman sambil menikmati kebab dan chicken tika, kopi Omani atau Mc Donald maupun Pizza. Ada tempat rekreasi pantai untuk publik di Marina Bandar Rowdha berdekatan dengan Marine Science and Fisheries Centre (Pusat Penelitian Perikanan Oman). Sebagai negeri gurun pasir, Oman dua musim, yaitu dingin dan panas.

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong