Skip to main content

Refleksi: Siapakah Orang Aceh?


Oleh Kris Bheda Somerpes

Pada pertengahan April 2008 saya bergabung dengan Sunspirit For Justcice and Peace, sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal-nasional yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan pembangunan perdamaian berbasis komunitas di wilayah Aceh Barat. Awalnya saya agak keberatan ketika diajak bergabung, lantaran image tentang Aceh dalam ruang kepala saya dilukiskan sebagai sebuah wilayah yang mengerikan, penuh pergolakan dan bergejolak. Kesan ini tentunya amat beralasan bagi seseorang yang belum pernah mengenal Aceh secara lebih dekat dan mendalam seperti saya.

Namun, rasa penasaran dan keingintahuan saya selalu mendesak untuk mencobanya. Ketakutan dan kengerian justru melenyap perlahan ketika bermunculan aneka cerita seputar Aceh yang justru melahirkan tanda tanya dan mengundang keingintahuan. Ada cerita seputar kelamnya konflik TNI- GAM, yang menarik bagi saya seputar cerita ini adalah bagaimana orang Aceh memahami perang. Ada pula cerita seputar kelamnya gempa dan tsunami yang melanda Aceh, yang ingin saya tahu adalah bagaimana orang Aceh memahami tsunami dan apakah ada keajaiban yang tercipta darinya. Atau jangan-jangan tsunami itu sendiri adalah keajaiban. Ada pula cerita dan gambaran tentang Aceh sebagai negeri Serambi Mekah di satu sisi dan di sisi lain digambarkan sebagai ‘kebun’ ganja; yang menarik dari kebertolakbelakangan ini bagi saya adalah bagaimana orang Aceh menghayati hidup keagamaannya.

Inilah beberapa cerita, dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam ruang kepala saya, yang selanjutnya mendesak saya untuk meninggalkan rasa takut dan ngeri, lantas dengan lapang dada mengunjungi negeri seribu mesjid ini dan memulai berkarya untuk masyarakat. Saya mengawali perjumpaan dalam karya dengan perkenalan. Perlahan-lahan saya mencoba untuk mengenal lebih dekat dengan situasi dan karakter orang Aceh melalui kisah-cerita Snouck Hurgronje dalam ‘Aceh, Rakyat dan adat Istiadatnya’ (1997).



Figur Masyarakat Aceh, Idi
Kisahnya detail obyektif dan konprehensif, tetapi belakang hari saya baru tahu kalau Hurgronje dibenci di Aceh, lantaran kemenduaannya dalam mempelajari Aceh. Di satu sisi mencoba mempelajari agama dan adat kebiasaan orang Aceh, tetapi pada saat yang sama katanya dia adalah mata-mata Belanda. H. Ridwan Saidi seperti yang ditulis Rizki Rydyasmara dalam ’Gerilya Salib di Serambi Mekkah, dari Zaman Portugis sampai Pasca-Tsunami’ mengatakan bahwa ’Snouck Hurgronje merupakan seorang orientalis Belanda yang mempraktekkan strategi berpura-pura masuk Islam (Isharul Islam) untuk menangguk keuntungan pribadinya (Belanda)’

Saya meninggalkan Hurgronje dan selanjutnya melakukan pendekatan secara lebih terlibat. Saya mengunjungi komunitas, membangun komunikasi dan berkenalan secara lebih dekat. Selain mendapatkan banyak cerita dan kisah yang menjawab semua rasa penasaran saya sejak awal, sesungguhnya Aceh itu sendiri khas dan unik. Dalam kesempatan ini saya hanya melukiskan kekhasan dan keunikan Aceh yang saya jumpai dan alami dari karakter manusia dan budayanya. Bahwa sesungguhnya kekhasan orang Aceh jika diperbandingkan dengan kultur masyarakat lain di Indonesia adalah sikap militansi dan loyal atau patuh kepada pemimpin.

Bukan tanpa alasan jika saya menyebutkan dua hal di atas sebagai dua karakter yang paling menonjol dari orang Aceh.

Pertama, sikap militansi masyarakat atau orang Aceh sudah ditempa sejak ratusan tahun lalu, sejak pendudukan Belanda sampai konflik bersenjata antara GAM-RI. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan yang ditempa sekian lama itu lantas mengental, mengkristal jadi sebuah budaya yang melekat erat dalam setiap karakter masyarakat Aceh. Hal ini bisa dibaca melalui syair-syair do daidi, senandung peninabobo bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar nanti pergilah ke medan perang untuk berjuang membela bangsa (nanggroe).

Kedua, selain sikap militansi, sikap yang lain yang menonjol adalah loyal dan patuh pada pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan bagi orang Aceh sebenarnya sebuah nilai dengan harga mahal. Sebab, agar orang Aceh menjadi loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan serta percaya kepada rakyat.

Figur Masyarakat Aceh Zaman Kolonial
Saya cukup menyebut dua contoh di sini. Pertama, pada masa perjuangan merebut kemerdekaan orang Aceh rela memberikan segala harta bendanya kepada Indonesia lewat sebuah pesawat bernama RI 01 yang kita tahu sekarang dimuseumkan di Taman Mini Indonesia Indah. Inilah bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap Soekarno karena beliau menjanjikan penetapan syariat Islam di Aceh. Janji itu disampaikan Soekarno kepada Tengku Daud Beureuh pada 16 Juni 1948.

Kedua, Aceh memberikan kemenangan telak kepada partai Demokrat dan secara khusus kepada SBY dalam pilpres 2009. Tercatat 93% masyarakat Aceh memilih SBY. Ini juga bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap SBY, karena dalam masa pemerintahannya SBY telah memberikan sesuatu yang berharga untuk Aceh yakni perdamaian.

Saya menyebut sikap loyal dan patuh orang atau masyarakat Aceh terhadap pemimpin sebagai sebuah harga yang mahal karena sang pemimpin jangan sekali-kali ingkar janji. Jika sampai hal itu terjadi bukan tidak mungkin masyarakat atau orang Aceh akan memberontak dan bahkan menyimpan dendam yang panjang. Fakta sejarah sudah membuktikan itu. Kebaikan orang Aceh melalui pesawat RI 01 dan ribuan nyawa mati di medan perang demi mempertahankan kesatuan NKRI pada masa merebut kemerdekaan justru dibalas dengan ‘tuba’ oleh Soekarno. Soekarno inkar janji. Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) walau tetap menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia

Belajar dari fakta sejarah masa lulu, SBY yang sekarang dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Aceh hendaknya membangun silaturahmi yang baik dengan masyarakat Aceh. Sebab bisa saja terjadi, jika kepercayaan itu tidak dihargai, maka Aceh akan bergejolak lagi. Prediksi ini memang jauh panggang dari api, tetapi sikap awas SBY atas semua janjinya mesti perlu dibuktikan.

Itulah gambaran singkat perjumpaan saya dengan masyarakat Aceh sampai akhirnya saya menjumpai Dr. Mohd Harun lewat ’Memahami orang Aceh’ (April 2009) Kajiannya atas masyarakat Aceh dari penggalan syair hadih maja seperti meneguhkan sedikit perjumpaan saya dengan masyarakat Aceh. Menurutnya ada lima prototipe watak orang Aceh.

Pertama adalah reaktif artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik apalagi diejek, ’Aceh han me ceb’ (Aceh pantang diejek) sebab, karena kalau tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.

Kedua adalah militan artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya. ’Rencong peudeueng pusaka ayah, rudoh siwah kreh peunulang. Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang’ (Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan. Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)

Figur Masyarakat Aceh Masa Perang Aceh
Ketiga adalah optimis hal ini tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui. ’Siploh pinto teutob, na saboh nyang teubah’ (sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka).

Keempat adalah konsisten. Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran. "Cab di batee labang di papeuen, lagee ka lon kheun jeut metuba" (cap di batu paku di papan, seperti sudah kukatakan tak boleh bertukar).

Kelima adalah loyal. Hal ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin. "Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah mate di blang ngon sabab gata" (walau dalam perang pun saya berkorban, biarlah mati dalam perang demi Anda).


sumber http://ajuncell.blogspot.com/2011/08/siapakah-orang-aceh.html


Comments

Popular posts from this blog

Negara Oman

Tak ada kesulitan sama sekali mengurus dokumen keimigrasian ke Oman terkesan sangat lancar dan mudah. Pekan terakhir Desember tahun lalu, saya dan delegasi dari Undip yang hendak melakukan negosiasi kerja sama akademik dan join-research dengan Sultan Qaboos University (SQU) di Muscat, Oman cukup berkomunikasi jarak jauh dengan pihak universitas. Hanya saling ber-email semuanya sudah beres. Oman termasuk negeri yang unik karena mempunyai dataran tinggi dan rendah dengan nuansa gurun plus pantai. Itu kombinasi landskap yang cantik. Kita bisa menikmati Taman Riyam di pinggir pantai bersama keluarga atau teman sambil menikmati kebab dan chicken tika, kopi Omani atau Mc Donald maupun Pizza. Ada tempat rekreasi pantai untuk publik di Marina Bandar Rowdha berdekatan dengan Marine Science and Fisheries Centre (Pusat Penelitian Perikanan Oman). Sebagai negeri gurun pasir, Oman dua musim, yaitu dingin dan panas.

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong