Oleh Mirza Fanzikri
PERJALANAN panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sejak dideklarasikan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976, telah mengantarkan Aceh pada kondisi yang sangat dinamis dalam percaturan politik nasional. Fase pertama berakhir ketika Nota Kesepakatan (MoU) Helsinki ditandatanagi oleh kedua belah pihak, RI dan GAM, pada 15 Agustus 2005 lalu. Perjuangan melalui senjata beralih kepada perjuangan politik dalam negeri. Komite Peralihan Aceh (KPA) menjadi tempat berhimpunnya para kombatan GAM pascakonflik. Dan UUPA merupakan bukti perjuangan panjang GAM dan masyarakat Aceh secara kolektif yang harus segera diimplementasikan.
Kini, usia GAM sudah mencapai 37 tahun. Transisi perjuangan saat ini merupakan sebuah realitas, sebagai alternatif baru untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Aceh dengan cara-cara solutif dan rekonstruktif. Tentu semua masyarakat Aceh (masih) ingin merdeka secara hak dan kebutuhan. Karenanya, kondisi tersebut harus segera terwujud dan dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat Aceh yang telah lama hidup dalam penderitaan konflik.
Pesta demokrasi Aceh Jilid I dan II pasca MoU Helsinki telah menghasilkan pemimpin dan pimpinan nanggroe indatu dari kalangan mantan kombatan GAM dalam jumlah mayoritas, baik se-tingkat gubernur, bupati/walikota, anggota legislatif hingga SKPA/K. Oleh karena itu, sangat lumrah jika saat ini masyarakat menitipkan harapan besar pada ‘GAM kantoran’ yang sedang melanjutkan perjuangannya di ‘kursi empuk’.
Indikator penting
Kesejahteraan merupakan satu indikator penting yang mampu mengantarkan masyarakat pada kondisi merdeka secara batiniah, bahkan rohaniah. Pemenuhan kesejahteraan dapat ditempuh dengan kebijakan, penganggaran, dan program-program pemerintah yang pro-rakyat. Karena dengan kondisi sejahtera akan mengantarkan masyarakat Aceh pada kualitas hidup yang tinggi. Seperti pesan dalam sebuah lelucon edukatif, mengatakan “merdeka itu jika dalam dompet berderet gambar Soekarno dan Hatta pakai peci. Tapi jika dalam dompet masih berderet gambar Pattimura memegang galah, itu tandanya masih perjuangan”.
Meski merdeka memiliki definisi yang relatif, namun esensi perjuangan kemerdekaan adalah membebaskan rakyat Aceh dari penjajahan, kemiskinan, ketidakberdayaan, ketakutan, kebodohan, dan kezaliman. Sehingga semua masyarakat terpenuhi hak dan kebutuhan sebagai manusia dan warga negara. Pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, papan, dan pangan serta peningkatan keberfungsian sosial secara fisik, mental, dan lingkungan sebagaimana diamanatkan UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Maslow berpendapat, sebagai manusia, masyarakat punya tingkatan hierarkhi kebutuhan dasar (basic needs) yang harus dipenuh, yaitu: Pertama, kebutuhan fisiologis; adalah kebutuhan biologis yang terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan lain-lain yang bertujuan untuk mempertahankan hidup; Kedua, kebutuhan keamanan yaitu aman secara ekonomi, secara fisik, dan lingkungan. Seperti tidak mendapat teror, intimidasi, hidup dengan aman, damai dan lain-lain;
Ketiga, yaitu kebutuhan bersosialisasi; artinya setiap orang dapat hidup secara berkelompok, bermasyarakat, menjalin hubungan persahabatan, dan memiliki kepedulian sesama; Keempat, Kebutuhan akan penghargaan; yaitu kebutuhan untuk dihargai, diapresiasi, dan diakui kontribusinya oleh orang lain, dan; Kelima, kebutuhan untuk aktualisasi diri, yaitu seseorang butuh menyalurkan dan mengembangkan bakat dan keahlian pada hal yang diminatinya. Seperti seorang musisi harus bermusik, pendidik harus mengajar, dan penulis harus menulis.
Teori hirarkhi kebutuhan di atas sering digambarkan sebagai piramida, lebih besar tingkat bawah mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili kebutuhan aktualisasi diri. Salah satu faktor seseorang tidak berkontribusi terhadap pembangunan disebabkan kebutuhan dasarnya belum mencapai tahap aktualisasi. Sehingga produktifitasnya pun terhambat. Karena itu, orientasi pembangunan harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara sistemik.
Kini, di usia perdamaian berjalan 9 tahun, rakyat Aceh belum mampu ‘mendefinisikan’ arti merdeka di alam nyata. Mereka masih dihantui berbagai persoalan politik, sosial, dan ekonomi yang kian merosot. Sepertinya masih begitu banyak lika-liku yang belum mampu dibenahi oleh para ‘panglima’ baru. Tak dapat dielak jika banyak yang menilai itu sebagai indikator gagalnya pembangunan Aceh di periode ini. Kebijakan serta alternatif pembangunan yang mampu menjembatani rakyat Aceh menuju kondisi yang sejahtera masih dalam tanda tanya besar. Janji politik, seperti subsidi Rp 1 juta/KK dan lain-lain, juga belum terealisasi.
Menurut Richard R Nelson, kegagalan pembangunan akan berimplikasi pada masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan anatara si miskin dan si kaya. Jika kita merujuk pada pendapat ini, Aceh tergolong sebagai wilayah yang masih memiliki tantangan pembangunan, terutama dalam pembangunan sosial. Potret kemiskinan semakin terang dengan rendahnya produktivitas para petani --sebagai profesi mayoritas, setelah gagal panen akibat kekeringan di beberapa daerah di Aceh. Ditambah dengan banyaknya pengemis yang berkeliaran di persimpangan kota, serta berbagai masalah sosial lainnya yang bermuara pada kemiskinan di Seuramoe Mekkah.
Masalah serius
Begitu pula dengan angka pengangguran yang terus melonjak tiap tahunnya, terutama pengangguran terdidik yang sulit mendapatkan pekerjaan. Penggangguran merupakan masalah serius yang perlu ditangani oleh pemerintah, karena ekses dari tingginya pengangguran akan berimplikasi terhadap masalah sosial lainnya, seperti kriminalitas dan berbabagai patologi sosial lainnya pun bermuara pada masalah kemiskinan. Kiranya, pemerintah segera menemukan solusi alternatif dalam penciptaan dan penyediaan lapangan kerja melalui pendayagunaan sumber daya manusia, untuk mewujudkan masyarakat mandiri dan pastisipatif.
Di sisi lain, transisi politik di Aceh juga banyak mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat Aceh saat ini. Meskipun Aceh memiliki dana pembangunan melimpah pada setiap tahun anggaran, baik bersumber dari APBN, APBA, dan dana Otsus, namun tak membuat rakyat Aceh sejahtera secara merata. Ketidakmerataan pemenuhan kebutuhan ini berimplikasi pada tingginya kesenjangan sosial, dan membuat jurang pemisah antara orang kaya dan miskin semakin lebar. Sehingga lahir kelompok elite baru dengan jumlah yang minoritas dan kelompok mustad’afin yang mayoritas berbaju kemiskinan.
Padahal, kucuran anggaran yang dinikmati saat ini berasal dari darah, air mata dan penderitaan anak yatim dan janda akibat letusan perang Aceh dulu. Karena itu, sudah saatnya kita mendefinisikan ulang (redefinisi) makna dari perjuangan Aceh sesuai konteks dan realitas saat ini. Setelah perdamaian, perjuangan politik, kebijakan, dan implementasi UUPA merupakan alternatif pembangunan Aceh pada fase kedua.
Semoga kebijakan, penganggaran, dan program-program pro rakyat yang merata menjadi senjata ampuh bagi pemerintah Aceh untuk memerangi ketidakberdayaan dan kesenjangan sosial, sehingga mampu mengantarkan masyarakat Aceh pada kondisi yang merdeka. Semoga!
* Mirza Fanzikri, S.Sos.I, Mahasiswa Magister (S2) Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Email: vanzikry.socwork@gmail.com
PERJALANAN panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sejak dideklarasikan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976, telah mengantarkan Aceh pada kondisi yang sangat dinamis dalam percaturan politik nasional. Fase pertama berakhir ketika Nota Kesepakatan (MoU) Helsinki ditandatanagi oleh kedua belah pihak, RI dan GAM, pada 15 Agustus 2005 lalu. Perjuangan melalui senjata beralih kepada perjuangan politik dalam negeri. Komite Peralihan Aceh (KPA) menjadi tempat berhimpunnya para kombatan GAM pascakonflik. Dan UUPA merupakan bukti perjuangan panjang GAM dan masyarakat Aceh secara kolektif yang harus segera diimplementasikan.
Kini, usia GAM sudah mencapai 37 tahun. Transisi perjuangan saat ini merupakan sebuah realitas, sebagai alternatif baru untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Aceh dengan cara-cara solutif dan rekonstruktif. Tentu semua masyarakat Aceh (masih) ingin merdeka secara hak dan kebutuhan. Karenanya, kondisi tersebut harus segera terwujud dan dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat Aceh yang telah lama hidup dalam penderitaan konflik.
Pesta demokrasi Aceh Jilid I dan II pasca MoU Helsinki telah menghasilkan pemimpin dan pimpinan nanggroe indatu dari kalangan mantan kombatan GAM dalam jumlah mayoritas, baik se-tingkat gubernur, bupati/walikota, anggota legislatif hingga SKPA/K. Oleh karena itu, sangat lumrah jika saat ini masyarakat menitipkan harapan besar pada ‘GAM kantoran’ yang sedang melanjutkan perjuangannya di ‘kursi empuk’.
Indikator penting
Kesejahteraan merupakan satu indikator penting yang mampu mengantarkan masyarakat pada kondisi merdeka secara batiniah, bahkan rohaniah. Pemenuhan kesejahteraan dapat ditempuh dengan kebijakan, penganggaran, dan program-program pemerintah yang pro-rakyat. Karena dengan kondisi sejahtera akan mengantarkan masyarakat Aceh pada kualitas hidup yang tinggi. Seperti pesan dalam sebuah lelucon edukatif, mengatakan “merdeka itu jika dalam dompet berderet gambar Soekarno dan Hatta pakai peci. Tapi jika dalam dompet masih berderet gambar Pattimura memegang galah, itu tandanya masih perjuangan”.
Meski merdeka memiliki definisi yang relatif, namun esensi perjuangan kemerdekaan adalah membebaskan rakyat Aceh dari penjajahan, kemiskinan, ketidakberdayaan, ketakutan, kebodohan, dan kezaliman. Sehingga semua masyarakat terpenuhi hak dan kebutuhan sebagai manusia dan warga negara. Pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, papan, dan pangan serta peningkatan keberfungsian sosial secara fisik, mental, dan lingkungan sebagaimana diamanatkan UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Maslow berpendapat, sebagai manusia, masyarakat punya tingkatan hierarkhi kebutuhan dasar (basic needs) yang harus dipenuh, yaitu: Pertama, kebutuhan fisiologis; adalah kebutuhan biologis yang terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan lain-lain yang bertujuan untuk mempertahankan hidup; Kedua, kebutuhan keamanan yaitu aman secara ekonomi, secara fisik, dan lingkungan. Seperti tidak mendapat teror, intimidasi, hidup dengan aman, damai dan lain-lain;
Ketiga, yaitu kebutuhan bersosialisasi; artinya setiap orang dapat hidup secara berkelompok, bermasyarakat, menjalin hubungan persahabatan, dan memiliki kepedulian sesama; Keempat, Kebutuhan akan penghargaan; yaitu kebutuhan untuk dihargai, diapresiasi, dan diakui kontribusinya oleh orang lain, dan; Kelima, kebutuhan untuk aktualisasi diri, yaitu seseorang butuh menyalurkan dan mengembangkan bakat dan keahlian pada hal yang diminatinya. Seperti seorang musisi harus bermusik, pendidik harus mengajar, dan penulis harus menulis.
Teori hirarkhi kebutuhan di atas sering digambarkan sebagai piramida, lebih besar tingkat bawah mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili kebutuhan aktualisasi diri. Salah satu faktor seseorang tidak berkontribusi terhadap pembangunan disebabkan kebutuhan dasarnya belum mencapai tahap aktualisasi. Sehingga produktifitasnya pun terhambat. Karena itu, orientasi pembangunan harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara sistemik.
Kini, di usia perdamaian berjalan 9 tahun, rakyat Aceh belum mampu ‘mendefinisikan’ arti merdeka di alam nyata. Mereka masih dihantui berbagai persoalan politik, sosial, dan ekonomi yang kian merosot. Sepertinya masih begitu banyak lika-liku yang belum mampu dibenahi oleh para ‘panglima’ baru. Tak dapat dielak jika banyak yang menilai itu sebagai indikator gagalnya pembangunan Aceh di periode ini. Kebijakan serta alternatif pembangunan yang mampu menjembatani rakyat Aceh menuju kondisi yang sejahtera masih dalam tanda tanya besar. Janji politik, seperti subsidi Rp 1 juta/KK dan lain-lain, juga belum terealisasi.
Menurut Richard R Nelson, kegagalan pembangunan akan berimplikasi pada masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan anatara si miskin dan si kaya. Jika kita merujuk pada pendapat ini, Aceh tergolong sebagai wilayah yang masih memiliki tantangan pembangunan, terutama dalam pembangunan sosial. Potret kemiskinan semakin terang dengan rendahnya produktivitas para petani --sebagai profesi mayoritas, setelah gagal panen akibat kekeringan di beberapa daerah di Aceh. Ditambah dengan banyaknya pengemis yang berkeliaran di persimpangan kota, serta berbagai masalah sosial lainnya yang bermuara pada kemiskinan di Seuramoe Mekkah.
Masalah serius
Begitu pula dengan angka pengangguran yang terus melonjak tiap tahunnya, terutama pengangguran terdidik yang sulit mendapatkan pekerjaan. Penggangguran merupakan masalah serius yang perlu ditangani oleh pemerintah, karena ekses dari tingginya pengangguran akan berimplikasi terhadap masalah sosial lainnya, seperti kriminalitas dan berbabagai patologi sosial lainnya pun bermuara pada masalah kemiskinan. Kiranya, pemerintah segera menemukan solusi alternatif dalam penciptaan dan penyediaan lapangan kerja melalui pendayagunaan sumber daya manusia, untuk mewujudkan masyarakat mandiri dan pastisipatif.
Di sisi lain, transisi politik di Aceh juga banyak mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat Aceh saat ini. Meskipun Aceh memiliki dana pembangunan melimpah pada setiap tahun anggaran, baik bersumber dari APBN, APBA, dan dana Otsus, namun tak membuat rakyat Aceh sejahtera secara merata. Ketidakmerataan pemenuhan kebutuhan ini berimplikasi pada tingginya kesenjangan sosial, dan membuat jurang pemisah antara orang kaya dan miskin semakin lebar. Sehingga lahir kelompok elite baru dengan jumlah yang minoritas dan kelompok mustad’afin yang mayoritas berbaju kemiskinan.
Padahal, kucuran anggaran yang dinikmati saat ini berasal dari darah, air mata dan penderitaan anak yatim dan janda akibat letusan perang Aceh dulu. Karena itu, sudah saatnya kita mendefinisikan ulang (redefinisi) makna dari perjuangan Aceh sesuai konteks dan realitas saat ini. Setelah perdamaian, perjuangan politik, kebijakan, dan implementasi UUPA merupakan alternatif pembangunan Aceh pada fase kedua.
Semoga kebijakan, penganggaran, dan program-program pro rakyat yang merata menjadi senjata ampuh bagi pemerintah Aceh untuk memerangi ketidakberdayaan dan kesenjangan sosial, sehingga mampu mengantarkan masyarakat Aceh pada kondisi yang merdeka. Semoga!
* Mirza Fanzikri, S.Sos.I, Mahasiswa Magister (S2) Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Email: vanzikry.socwork@gmail.com
Comments
Post a Comment
Please write you coment.