Oleh Bisma Yadhi Putra
TERSERAH kalau tidak setuju dengan pendapat ini: hukuman mati adalah sanksi paling ringan untuk para pengkhianat. Termasuk pula dihukum mati bersama keluarga atau koleganya yang terbukti punya peran dalam pengkhianatan. Sementara hukuman terberat: sepanjang masa namanya dijadikan sinonim untuk kata “pengkhianat”, seperti Vidkun Quisling.
Quisling adalah “seorang pemimpin fasis berkebangsaan Norwegia yang membantu Jerman untuk menjajah Norwegia”. Ketika Norwegia diinvasi pada 9 April 1940, yang menyebabkan Perdana Menteri Nygaardsvold (penentang Hitler) melarikan diri ke London dan membentuk “pemerintahan dalam buangan”, Quisling berpihak pada Jerman. Namanya kemudian menjadi istilah dengan arti: “Seseorang yang berkhianat dan berkomplot untuk bekerja sama dengan musuh” (Morgenthau, 2010: 712).
Usai Jerman kalah dalam Perang Dunia II, Quisling diadili dengan tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi (high treason). Namanya lantas jadi label untuk mencemooh para pengkhianat atau kolaborator. Di Benteng Akershus ia dieksekusi oleh regu tembak. Orangnya mati, namanya tetap hidup sebagai cemoohan. Berbeda dengan orang-orang yang dibunuh karena melawan pengkhianatan negara: nama mereka tetap hidup sebagai teladan.
Terpaksa berkhianat
Sebenarnya, tidak semua pengkhianatan berbahaya besar. Setiap pengkhianatan punya kadar bahaya masing-masing. Ada orang-orang yang terpaksa berkhianat karena organisasi mereka melakukan pengkhianatan terhadap nilai yang pernah disepakati bersama. Sekelompok orang yang dianggap berkhianat pada sebuah organisasi politik, hanya membahayakan kekokohan organisasi politik tersebut.
Sementara jika sebuah organisasi politik representasi rakyat berkhianat, misalnya menjadi kolaborator untuk seorang ruthless yang pernah tega membunuh rakyat, dampak bahayanya jauh lebih besar. Akan lebih banyak orang yang tersakiti akibat pengkhianatan itu. Jadi ada kadar bahaya yang berbeda antara “pengkhianatan dalam parpol” dengan “pengkhianatan parpol”.
Bagi rakyat biasa seperti saya, tidak terlalu mementingkan ada sekelompok pengkhianat dalam sebuah parpol. Tapi jika ada parpol yang berkhianat pada rakyat, itu masalah besar. Nasjonal Samling, parpol fasis yang dibentuk Quisling, adalah salah satu contoh. Untuk para pengkhianat di Indonesia, jangankan diberi sanksi paling ringan, justru masih bisa dapat sanjungan bahkan dukungan suara dalam pemilu.
Ada parpol yang namanya memakai kata “rakyat”, tapi justru berkhianat pada rakyat. Bentuk pengkhianatannya macam-macam: penjarahan anggaran daerah (uang rakyat), pembiaran kemiskinan, enggan mengesahkan hukum untuk menegakkan hak asasi manusia, dan seterusnya. Begitupun parpol yang menggunakan kata “Aceh”, tapi tak bersungguh-sungguh membangun Aceh. Sebenarnya itu dapat dikategorikan pengkhianatan tingkat tinggi.
Pengkhianat biasanya gemar memecah belah. Persis penjajah. Sudah diterangkan oleh Hasan Tiro bagaimana terjajah kemudian mengikuti pola politik penjajah. Dulu Jerman menjajah Belanda, dijalankan politik pecah-belah; lalu Belanda menjajah Indonesia, dijalankan politik pecah-belah; kemudian Indonesia menjajah Aceh, dijalankan politik pecah-belah. Namun, realitas mutakhir di Aceh tidak sempat dicatat Hasan Tiro: Aceh menjajah Aceh, dijalankan politik pecah-belah rakyat Aceh. Penjajah diperangi, cara berpolitiknya justru diadopsi.
Hasan Tiro pun sepakat pengkhianat harus dihukum mati (hukuman ringan). Dalam Aceh di Mata Dunia, dia menulis, “Pegawai-pegawai Kerajaan Belanda yang mau tunduk kepada Jerman dibentuk menjadi `Pemerintahan Belanda’ oleh Jerman. Tetapi ketika akhirnya Jerman kalah, semua orang Belanda yang menjadi kaki-tangan Jerman dihukum mati oleh Belanda. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain” (Hasan Tiro, 2013: 70-71).
Tidak sempat pula Hasan Tiro menyaksikan para penerusnya kini saling hujat, saling menuduh saudaranya sebagai pengkhianat. Bahkan banyak penerus Hasan Tiro mengkhianati nilai-nilai yang dibangunnya. Jika Hasan Tiro menentang cara hidup penjajah, beberapa penerusnya kini mempraktikkannya: mereka menghambur-hamburkan anggaran daerah dalam jumlah besar hanya untuk pelantikan pejabat, hidup foya-foya, berkoalisi dengan tokoh ruthless, dan hendak “menjual” Aceh pada “orang seberang lautan” semata-mata demi keuntungan elektoral.
Ini juga bentuk pengkhianatan. Dengan demikian, jika hendak memakai cara menghukum Quisling, tentu akan banyak pengikut Hasan Tiro yang namanya pantas dijadikan sinonim kata “pengkhianat”. Lagian, Hasan Tiro tak menampik bahwa pernah ada berapa orang Aceh yang “menjadi kaki-tangan bangsa lain untuk coba menjajah Aceh”. Ini yang perlu diwaspadai. Banyak yang mengaku hendak membangun Aceh, tapi sebenarnya jadi berkolaborasi dengan pihak yang pernah merusak Aceh.
Saatnya bersatu
Namun, sebenarnya kita tak perlu sesukanya menuduh pihak yang berbeda visi sebagai pengkhianat. Rumus amoral yang kerap dipakai ini mestinya tidak dipraktikkan lagi: agar kecurangan Anda tidak terbaca, maka tuduhlah pihak yang Anda curangi melakukan kecurangan; agar pengkhianatan Anda tidak tercium, maka tuduhlah pihak yang mengkhianati Anda melakukan pengkhianatan yang Anda lakukan.
Sudah cukup saling hujat dan melabelkan “yang beda” sebagai pengkhianat. Saatnya bersatu membangun Aceh. Saya kira kita semua setuju dengan motivasi Hasan Tiro ini: “Semua yang sudah hilang akan kembali. Apa yang sudah miring akan sejajar lagi dan apa yang sudah jatuh kita angkat kembali”. Bersedia? Kalau ada yang tak bersedia, maka tak salah ia dianggap quisling. Di sini, hukuman paling ringan layak dijatuhkan padanya.
* Bisma Yadhi Putra, Alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: bisma.ypolitik@gmail.com.
TERSERAH kalau tidak setuju dengan pendapat ini: hukuman mati adalah sanksi paling ringan untuk para pengkhianat. Termasuk pula dihukum mati bersama keluarga atau koleganya yang terbukti punya peran dalam pengkhianatan. Sementara hukuman terberat: sepanjang masa namanya dijadikan sinonim untuk kata “pengkhianat”, seperti Vidkun Quisling.
Quisling adalah “seorang pemimpin fasis berkebangsaan Norwegia yang membantu Jerman untuk menjajah Norwegia”. Ketika Norwegia diinvasi pada 9 April 1940, yang menyebabkan Perdana Menteri Nygaardsvold (penentang Hitler) melarikan diri ke London dan membentuk “pemerintahan dalam buangan”, Quisling berpihak pada Jerman. Namanya kemudian menjadi istilah dengan arti: “Seseorang yang berkhianat dan berkomplot untuk bekerja sama dengan musuh” (Morgenthau, 2010: 712).
Usai Jerman kalah dalam Perang Dunia II, Quisling diadili dengan tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi (high treason). Namanya lantas jadi label untuk mencemooh para pengkhianat atau kolaborator. Di Benteng Akershus ia dieksekusi oleh regu tembak. Orangnya mati, namanya tetap hidup sebagai cemoohan. Berbeda dengan orang-orang yang dibunuh karena melawan pengkhianatan negara: nama mereka tetap hidup sebagai teladan.
Terpaksa berkhianat
Sebenarnya, tidak semua pengkhianatan berbahaya besar. Setiap pengkhianatan punya kadar bahaya masing-masing. Ada orang-orang yang terpaksa berkhianat karena organisasi mereka melakukan pengkhianatan terhadap nilai yang pernah disepakati bersama. Sekelompok orang yang dianggap berkhianat pada sebuah organisasi politik, hanya membahayakan kekokohan organisasi politik tersebut.
Sementara jika sebuah organisasi politik representasi rakyat berkhianat, misalnya menjadi kolaborator untuk seorang ruthless yang pernah tega membunuh rakyat, dampak bahayanya jauh lebih besar. Akan lebih banyak orang yang tersakiti akibat pengkhianatan itu. Jadi ada kadar bahaya yang berbeda antara “pengkhianatan dalam parpol” dengan “pengkhianatan parpol”.
Bagi rakyat biasa seperti saya, tidak terlalu mementingkan ada sekelompok pengkhianat dalam sebuah parpol. Tapi jika ada parpol yang berkhianat pada rakyat, itu masalah besar. Nasjonal Samling, parpol fasis yang dibentuk Quisling, adalah salah satu contoh. Untuk para pengkhianat di Indonesia, jangankan diberi sanksi paling ringan, justru masih bisa dapat sanjungan bahkan dukungan suara dalam pemilu.
Ada parpol yang namanya memakai kata “rakyat”, tapi justru berkhianat pada rakyat. Bentuk pengkhianatannya macam-macam: penjarahan anggaran daerah (uang rakyat), pembiaran kemiskinan, enggan mengesahkan hukum untuk menegakkan hak asasi manusia, dan seterusnya. Begitupun parpol yang menggunakan kata “Aceh”, tapi tak bersungguh-sungguh membangun Aceh. Sebenarnya itu dapat dikategorikan pengkhianatan tingkat tinggi.
Pengkhianat biasanya gemar memecah belah. Persis penjajah. Sudah diterangkan oleh Hasan Tiro bagaimana terjajah kemudian mengikuti pola politik penjajah. Dulu Jerman menjajah Belanda, dijalankan politik pecah-belah; lalu Belanda menjajah Indonesia, dijalankan politik pecah-belah; kemudian Indonesia menjajah Aceh, dijalankan politik pecah-belah. Namun, realitas mutakhir di Aceh tidak sempat dicatat Hasan Tiro: Aceh menjajah Aceh, dijalankan politik pecah-belah rakyat Aceh. Penjajah diperangi, cara berpolitiknya justru diadopsi.
Hasan Tiro pun sepakat pengkhianat harus dihukum mati (hukuman ringan). Dalam Aceh di Mata Dunia, dia menulis, “Pegawai-pegawai Kerajaan Belanda yang mau tunduk kepada Jerman dibentuk menjadi `Pemerintahan Belanda’ oleh Jerman. Tetapi ketika akhirnya Jerman kalah, semua orang Belanda yang menjadi kaki-tangan Jerman dihukum mati oleh Belanda. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain” (Hasan Tiro, 2013: 70-71).
Tidak sempat pula Hasan Tiro menyaksikan para penerusnya kini saling hujat, saling menuduh saudaranya sebagai pengkhianat. Bahkan banyak penerus Hasan Tiro mengkhianati nilai-nilai yang dibangunnya. Jika Hasan Tiro menentang cara hidup penjajah, beberapa penerusnya kini mempraktikkannya: mereka menghambur-hamburkan anggaran daerah dalam jumlah besar hanya untuk pelantikan pejabat, hidup foya-foya, berkoalisi dengan tokoh ruthless, dan hendak “menjual” Aceh pada “orang seberang lautan” semata-mata demi keuntungan elektoral.
Ini juga bentuk pengkhianatan. Dengan demikian, jika hendak memakai cara menghukum Quisling, tentu akan banyak pengikut Hasan Tiro yang namanya pantas dijadikan sinonim kata “pengkhianat”. Lagian, Hasan Tiro tak menampik bahwa pernah ada berapa orang Aceh yang “menjadi kaki-tangan bangsa lain untuk coba menjajah Aceh”. Ini yang perlu diwaspadai. Banyak yang mengaku hendak membangun Aceh, tapi sebenarnya jadi berkolaborasi dengan pihak yang pernah merusak Aceh.
Saatnya bersatu
Namun, sebenarnya kita tak perlu sesukanya menuduh pihak yang berbeda visi sebagai pengkhianat. Rumus amoral yang kerap dipakai ini mestinya tidak dipraktikkan lagi: agar kecurangan Anda tidak terbaca, maka tuduhlah pihak yang Anda curangi melakukan kecurangan; agar pengkhianatan Anda tidak tercium, maka tuduhlah pihak yang mengkhianati Anda melakukan pengkhianatan yang Anda lakukan.
Sudah cukup saling hujat dan melabelkan “yang beda” sebagai pengkhianat. Saatnya bersatu membangun Aceh. Saya kira kita semua setuju dengan motivasi Hasan Tiro ini: “Semua yang sudah hilang akan kembali. Apa yang sudah miring akan sejajar lagi dan apa yang sudah jatuh kita angkat kembali”. Bersedia? Kalau ada yang tak bersedia, maka tak salah ia dianggap quisling. Di sini, hukuman paling ringan layak dijatuhkan padanya.
* Bisma Yadhi Putra, Alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: bisma.ypolitik@gmail.com.
Comments
Post a Comment
Please write you coment.