Akankah Aceh Seperti Brunei? [Tamat]
Muhammad Uzni Bin Nasir [Warga Matang Sijuek Teungoh Baktia Barat, Aceh Utara di Brunei Darussalam]
Selasa, 17 Juli 2012 03:29 WIB
Muhammad Uzni Bin Nasir [Warga Matang Sijuek Teungoh Baktia Barat, Aceh Utara di Brunei Darussalam]
Selasa, 17 Juli 2012 03:29 WIB
Disegi ekonomi, Brunei adalah negara yang kaya dan makmur sehingga bukan peristiwa aneh bila pendidikan dan kesehatan diberikan dengan gratis total oleh Kerajaan, bahkan orang yang sudah tua--umur pensiun--mendapat tujangan hidup dari Kerajaan, Sultan bersedia memberi mereka $B200-300 setiap akhir bulan, yang memang jumlah itu menjadi standar biaya hidup di Brunei.
Kerajaan pun dapat mengatur semua aspek harga dan kebutuhan rakyatnya, selain Kerajaan dapat memberi subsidi pada setiap kebutuhan primer dan skunder rakyatnya, juga berapa harga satu liter minyak tanah, satu telor ayam di pasaran pun telah ditetapkan. Hal ini mustahil dilakukan bila ekonomi bukan dipegang kuat oleh negara. Dalam hal ini, Aceh khususnya jauh sekali tertinggal karena ekonomi Aceh masih bergantung daripada budget APBA yang setiap tahun ditentukan oleh Jakarta.
Dalam segi lalu lintas, Brunei bukanlah kota yang suka macet. Pembangunan jalan raya setara dengan apa yang dibayar oleh rakyat melalui pajak setiap tahun sehingga disini lalu lintas sangatlah tertata rapi dan terkoordinir.
Jalan aspal yang lebar sulit kita dapatkan lobang ditengahnya, bahkan disudut-sudut tertentu dikawal oleh video tersembunyi CCTV (Closed Circuit Television). Selain berfungsi untuk memantau pergerakan lalu lintas juga bermanfaat untuk mengetahui siapa yang tidak mematuhi aturan ber lalu lintas, jadi jangan coba-coba menorobos lampu lalu disini, andai nekat juga menorobos maka kita harus siap membayar denda saat membayar pajak tahunan nantinya, jika pun kita berkilah dan mendakwa diri tidak pernah menerobos lampu merah, staf kantor pajak pun siap merekam ulang hasil rekaman video tersembunyi CCTV tadi. Sistem ini sesuatu yang layak dan dapat ditiru!
Brunei telah sanggup mengawal dan menguasai prioritas penting dalam bernegara, diantaranya ekonomi, pendidikan, keamanan juga ketertiban hukum. Untuk menguasai empat perkara ini, kejujuran, keterbukaan, kedisiplinan setiap aparatur negara sangat diutamakan sehingga nampaklah Brunei berjalan dengan mulus dan tenang dalam satu rel, satu tujuan menuju wawasan Brunei 2035. Nah, kalau demikian Aceh mau menuju kemana? Apakah ciri-ciri adminstrasi Brunei tersebut ada melekat di Aceh?
Setelah konflik berkepanjangan dan musibah tsunami sangat dapat difahami jika Aceh masih bergelut dengan ketertinggalan dalam segala line, namun yang terlihat hanya ada semangat untuk mengejar ketertinggalan tanpa ada konsep yang jelas. Anehnya, mayoritas rakyat kecil yang tradisional dihidangkan dengan janji berlebihan yang sangat tidak logis diterima akal sehat.
Belum lagi janji manis lainnya yang penulis analisa sebagai utopia belaka. Diwaktu yang sama UUPA yang menjadi roh pembangunan Aceh saja tidak ada tanda-tandanya akan sempurna menurut MoU Helsinki, ditambah lagi CMI dan perwakilan Uni Eropa sebagai "wasit" dalam konflik Aceh dan Indonesia telah angkat kaki.
Ke depan, sangat mudah bagi Jakarta untuk mengintervensi Aceh menurut kehendak mereka dan kita tidak terkejut jika isi MoU Helsinki dengan UUPA akan bernasip serupa dengan isi ikrar Lamteh. Hal ini bukanlah contoh berlebihan karena belajar dari pengalaman daerah konflik lainnya seperti di Mindanaou, disaat para penegah konflik telah pergi maka pihak penguasa sedikit demi sedikit mengeliminir perjanjian yang sudah disepakti dengan diawali penipuan politik.
Kesan pesimis dan skeptis juga bisa dirasakan setelah 7 tahun penandatangan karena masalah poin-poin MoU Helsinki terbukti sudah dikategorikan menjadi masalah internal Indonesia. Kalau sudah menjadi masalah dalam negeri, sudah tentu budget pembangunan untuk Aceh seperti APBA, DAU (Dana Alokasi Umum) menjadi kehendak Jakarta. Disamping itu, dana bagi hasil bumi Aceh sangat kabur mengingat proyek vital raksasa yang memproduksi gas lam cair di Aceh Utara sudah menampakkan berhentinya produksi padahal hasil bumi ini juga sebagai penunjang APBN Indonesia.
Brunei negeri kecil dibawah Sultan yang kaya hasil bumi dan hingga sekarang masih terus memompa hasil bumi demi kemakmuran rakyatnya, apakah bisa dibandingkan dengan Aceh dibawah Gubernur yang hasil buminya sudah hampir habis tetapi berbagi hasil lafi untuk menunjang APBN Indonesia.
Kemudian, apakah masuk akal jika Aceh akan makmur sejahtera seperti Brunei? Semoga teori tersebut tidak tergolong dalam bagian dari penipuan politik. Secara logika politik adalah utopia. Sebuah peribahasa Melayu di Brunei ini menasihatkan kalau dalam sebuah perbuatan sebaiknya merenung dengan mendalam akan sesuatu perkara sebelum membuat keputusan yang dengan ucapan lain peribahasa itu menyebutkan "Tepuk Dada Tanya Selera".
Akhirnya tersisalah sebuah harapan, sebagai rakyat dengan segenap kepercayaannya selalu menunggu kepastian dan kejelasan tentang di bagian mana yang mahu di contohi seperti Brunei yang memang telah menjadi hak ZIKIR memenuhi janjinya.
Jika pun dalam masa tertentu tidak ada tanda-tanda yang mengarah untuk menginplimentasikannya, penulis khawatir kepercayaan rakyat itu akan redup seiring dengan kaburnya misi perubahan yang dijanjikan, pengalaman telah memberi pelajaran penting bagi kita semua. Wallahu'alam.
http://theglobejournal.com/opini/akankah-aceh-seperti-brunei-tamat/index.php
Comments
Post a Comment
Please write you coment.