Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor lama dan Negeri Selangor.
Tengku Puteh Tippi
Institusi bendahara dalam Kesultanan Melaka,
Johor, Pahang, Riau dan Lingga mungkin
hampir sama dengan institusi Polem di Aceh.
Dimana kalau Panglima Polem berperan
sebagai peuduk peudeung raja, institusi
bendaharapun berperan sebagai lembaga fit
and proper test , penjaga adat Raja Melayu.
Institusi bendahara ini dibantu oleh
Temenggong, Laksamana, Penghulu
Bendahari dan Orang-Orang Kaya.
Hubungan bendahara dengan Sultan
disemenanjung di abad 17 dan 18 sempat tidak
harmonis karena beda haluan politik antara
Sultan dengan Bendahara dalam hal menyikapi
masalah Aceh. Tun Seri Lanang lebih memihak
ke kesultanan Aceh dalam hal menghadapi
portugis.
Dalam kacamata Tun Sri Lanang memerangi
Portugis adalah jihad Islami, dan wajib bagi
setiap individu muslim memeranginya yang
telah menduduki pemerintahan negeri negeri
Melayu dan setuju dengan pendapat Sultan
Aceh untuk menyerang mana mana negeri
Melayu yang bersubhat dengan Portugis.
Sedangkan Sultan Johor lebih memilih
bekerjasama dengan Portugis, walaupun
Kesultanan Aceh telah mengingatkan agar
kerajaan melayu islam di nusantara ini bersatu
melawan musuh agama mareka.
Sultan Alaudin Riayat Shah III setelah
dibebaskan oleh Sultan Iskandar Muda dan
adiknya Abdullah dikawinkan dengan adik
Sultan Iskandar Muda kembali ke Johor.
Kemudian berkhianat dan akhirnya dibunuh
oleh Sultan Aceh. Sedangkan bendaharanya
Tun Seri Lanang memilih tetap tinggal dan
meninggal di Aceh dan ini diakui
oleh R.O. Winstedt, (A History of Johore
(1365-1895), hlm 33-35) Cuma penulis barat
lebih banyak menjelekkan Aceh dalam hal
perseteruan antara Kerajaan Aceh
Darussalam dengan Kerajaan Melayu di
Semenanjung. Contohnya Winstedt
mengatakan "Tun Sri Lanang of the 'Malay
Annals' was a prisoner with the Sultan at Pasai
(pen Samalanga) and records in the
introduction to that work that his master died
at Acheh. Bahkan W. Linehan dalam bukunya
the History of Pahang hal 35-37 lebih
memojokkan Aceh lagi bahkan menuduh
Sultan Aceh telah melakukan tindakan
barbarous polcy terhadap
tawanannya.
Cuplikan pendapat di atas adalah bagian
propaganda orientalis untuk mendiskreditkan
Kerajaan Islam Aceh Darussalam dimata
masyarakat negeri negeri Melayu di
Semenanjung. Akibatnya keturunan Tun Sri
Lanang diasingkan sampai 60 tahun disana.
Posisi Bendahara diambil alih oleh Laksamana
Tun Abdul Jamil dan keturunannya. Baru pada
tahun 1688 M posisi bendahara dikembalikan
kepada Tun Abdul Majid cucu Tun Sri
Lanang melalui anaknya Tun Mat Ali.
Untuk memperkaya khazanah pembaca
penulis kutip sebahagian bait syair melayu
yang menggambarkan kegundahan pembesar
pembesar negeri akibat tidak harmonisnya
hubungan Sultan dengan Bendahara. Syair ini
penulis kutip dalam buku Institusi Bendahara
Permata Melayu Yang Hilang; Dinasti Bendahara
Johor - Pahang.
Tersebut kisah bendahara Muhammad,
Mendapat titah, Duli Hadirat,
Walau dirasa, beban yang amat,
Sedia dipikul, penuh semangat,
Sultan Johor, beri amanat,
Bukukan kisa, serta riwayat,
Raja Melayu, dan adat istiadat,
Supaya tak hilang, sampai kiamat,
Dato' Bendahara, jalankan titah,
Tiada berkira, penat dan lelah,
Penuh tafahus, menyusun sejarah,
Agar kisah menjadi ibrah,
Sejarah Melayu, terbuku sudah,
Duli Pertuan, dibawah Sembah,
Jasa Bendahara, telah dicurah,
Bangsa Melayu, dapat faedah,
Sejarah Melayu, agungkan karangan,
Bendahara Muhammad Jadi Sebutan,
Tun Sri Lanang nama timangan,
Pujangga Melayu, tiada tandingan,
Suatu ketika, tersebut riwayat,
Raja-Bendahara, hilang muafakat,
Cuba pulihkan, tidaklah dapat,
Berpisah haluan, tak dapat disekat,
Bendahara Johor, berhati rawan,
Terlerai sudah, tali ikatan,
Kalau begitu, kehendak Sultan,
Apa nak buat, terpaksa turutkan,
Negeri Johor, apalah malang,
Dato' bendahara, kini menghilang,
Baginda Sultan, tiada terhalang,
Mengikut rasa, alang kepalang.
Laksamana Paduka, jadi pilihan,
Ganti mamanda, disisi Sultan,
Pembesar Melayu, tiadalah aman,
Tingkah laksamana, datangkan keruan.
Negeri diatur, sewenang-wenang,
Adat disanggah, alang kepalang,
Laksamana paduka, menjadi dalang,
Segala perintahnya, tak boleh di bangkang,
Duduk di Riau, Sultan Johor,
Rencana Laksamana, jelas tersohor,
Muafakat bersama, sudah terkubur,
Daulat raja, hilanglah luhur.
Enam dekat, berlalu masa,
Laksamana sekeluarga, masih berkuasa,
Duli pertuan, tiada periksa,
Pembesar Melayu, menjadi sisa.
Sultan Johor, mangkatlah sudah,
Putera Baginda, kerajaan diserah,
Tingkah laksamana, tetap tak ubah,
Duli Pertuan, berhati gundah.
Sampai masanya, yang bersesuaian,
Titah diberi, Duli Pertuan,
Adat Melayu, ikutlah aturan,
Supaya kita, tidak kerugian.
Bendahara-Sultan, seperti sebadan,
Janganlah cuba, pisah-pisahkan,
Tali yang lerai, kita ikatkan,
Warisan Melaka, kita sambungkan. Dst.
Tun Sri Lanang dan Keluarganya diberi
penghargaan khusus di Aceh. Disamping di
angkat menjadi Raja di Samalanga dan Daerah
Takluknya keluarganyapun di beri
gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan.
Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel
Crecelius & E.A. Beardow, A Reputed
Achehnese Sarakata of The
Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm
52), Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima
Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu
(suntingan Shellabear) 1986 hlm
156). Cucunya (nama lupa) anak dari Tun Jenal
(Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal
Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah
adik kakek sebelah lelaki
sultan Iskandar Muda ((baca Suzana Hj
Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu
yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah
Malaysia, Johor, hlm 181-183) Perkawinan ini
merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu
dengan Nanggroe Aceh Darussalam (lihat
lampiran).
Pujangga Melayu
Tun Sri Lanang disamping ahli pemerintahan
juga dikenal sebagai pujangga melayu.
Karyanya yang menumental adalah kitab
Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini
dikarang mulai bulan Februari 1614 dan siapnya
Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di
kawasan Pasai ( The history of Johor, hlm 345)
.
Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak
jelas disebutkan siapa pengarang yang
sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh oleh
pengarang pengarang dahulu yang berusaha
menyembunyikan penulis aslinya terhadap
hasil karangannya. Bahkan menyebutkan
dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sbb;
Setelah fakir allazi murakkabun 'a;a jahlihi maka
fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan
dia,
syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah,
Tuhan sani'il - 'alam, dan minta huruf kepada
nabi sayyidi'l 'anam, dan minta ampun kepada
sahabat yang akram; maka
fakir karanglah hikayat ini kamasami' tuhu min
jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli
hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini "
Sulalatus Salatin" yakni "pertuturan segala Raja-
Raja". (Baca Sulatus salatin hal 3)
Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang
sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt,
menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting
saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang
kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam
kitabnya Bustanul Salatin fasal ke 12 bab II
menyebutkan:
"Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang
kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar
daripada bapanya, ia mendengar dari pada
neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al
Nabi salla 'llahu 'alaihi wa sallama seribu dua
puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari
Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan
segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka,
Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan
salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar
Zulkarnain_"
Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi
Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor
menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru
pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti
Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat,
Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin
Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin
Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri lanang.
Wallahu a'lam.
Institusi bendahara dalam Kesultanan Melaka,
Johor, Pahang, Riau dan Lingga mungkin
hampir sama dengan institusi Polem di Aceh.
Dimana kalau Panglima Polem berperan
sebagai peuduk peudeung raja, institusi
bendaharapun berperan sebagai lembaga fit
and proper test , penjaga adat Raja Melayu.
Institusi bendahara ini dibantu oleh
Temenggong, Laksamana, Penghulu
Bendahari dan Orang-Orang Kaya.
Hubungan bendahara dengan Sultan
disemenanjung di abad 17 dan 18 sempat tidak
harmonis karena beda haluan politik antara
Sultan dengan Bendahara dalam hal menyikapi
masalah Aceh. Tun Seri Lanang lebih memihak
ke kesultanan Aceh dalam hal menghadapi
portugis.
Dalam kacamata Tun Sri Lanang memerangi
Portugis adalah jihad Islami, dan wajib bagi
setiap individu muslim memeranginya yang
telah menduduki pemerintahan negeri negeri
Melayu dan setuju dengan pendapat Sultan
Aceh untuk menyerang mana mana negeri
Melayu yang bersubhat dengan Portugis.
Sedangkan Sultan Johor lebih memilih
bekerjasama dengan Portugis, walaupun
Kesultanan Aceh telah mengingatkan agar
kerajaan melayu islam di nusantara ini bersatu
melawan musuh agama mareka.
Sultan Alaudin Riayat Shah III setelah
dibebaskan oleh Sultan Iskandar Muda dan
adiknya Abdullah dikawinkan dengan adik
Sultan Iskandar Muda kembali ke Johor.
Kemudian berkhianat dan akhirnya dibunuh
oleh Sultan Aceh. Sedangkan bendaharanya
Tun Seri Lanang memilih tetap tinggal dan
meninggal di Aceh dan ini diakui
oleh R.O. Winstedt, (A History of Johore
(1365-1895), hlm 33-35) Cuma penulis barat
lebih banyak menjelekkan Aceh dalam hal
perseteruan antara Kerajaan Aceh
Darussalam dengan Kerajaan Melayu di
Semenanjung. Contohnya Winstedt
mengatakan "Tun Sri Lanang of the 'Malay
Annals' was a prisoner with the Sultan at Pasai
(pen Samalanga) and records in the
introduction to that work that his master died
at Acheh. Bahkan W. Linehan dalam bukunya
the History of Pahang hal 35-37 lebih
memojokkan Aceh lagi bahkan menuduh
Sultan Aceh telah melakukan tindakan
barbarous polcy terhadap
tawanannya.
Cuplikan pendapat di atas adalah bagian
propaganda orientalis untuk mendiskreditkan
Kerajaan Islam Aceh Darussalam dimata
masyarakat negeri negeri Melayu di
Semenanjung. Akibatnya keturunan Tun Sri
Lanang diasingkan sampai 60 tahun disana.
Posisi Bendahara diambil alih oleh Laksamana
Tun Abdul Jamil dan keturunannya. Baru pada
tahun 1688 M posisi bendahara dikembalikan
kepada Tun Abdul Majid cucu Tun Sri
Lanang melalui anaknya Tun Mat Ali.
Untuk memperkaya khazanah pembaca
penulis kutip sebahagian bait syair melayu
yang menggambarkan kegundahan pembesar
pembesar negeri akibat tidak harmonisnya
hubungan Sultan dengan Bendahara. Syair ini
penulis kutip dalam buku Institusi Bendahara
Permata Melayu Yang Hilang; Dinasti Bendahara
Johor - Pahang.
Tersebut kisah bendahara Muhammad,
Mendapat titah, Duli Hadirat,
Walau dirasa, beban yang amat,
Sedia dipikul, penuh semangat,
Sultan Johor, beri amanat,
Bukukan kisa, serta riwayat,
Raja Melayu, dan adat istiadat,
Supaya tak hilang, sampai kiamat,
Dato' Bendahara, jalankan titah,
Tiada berkira, penat dan lelah,
Penuh tafahus, menyusun sejarah,
Agar kisah menjadi ibrah,
Sejarah Melayu, terbuku sudah,
Duli Pertuan, dibawah Sembah,
Jasa Bendahara, telah dicurah,
Bangsa Melayu, dapat faedah,
Sejarah Melayu, agungkan karangan,
Bendahara Muhammad Jadi Sebutan,
Tun Sri Lanang nama timangan,
Pujangga Melayu, tiada tandingan,
Suatu ketika, tersebut riwayat,
Raja-Bendahara, hilang muafakat,
Cuba pulihkan, tidaklah dapat,
Berpisah haluan, tak dapat disekat,
Bendahara Johor, berhati rawan,
Terlerai sudah, tali ikatan,
Kalau begitu, kehendak Sultan,
Apa nak buat, terpaksa turutkan,
Negeri Johor, apalah malang,
Dato' bendahara, kini menghilang,
Baginda Sultan, tiada terhalang,
Mengikut rasa, alang kepalang.
Laksamana Paduka, jadi pilihan,
Ganti mamanda, disisi Sultan,
Pembesar Melayu, tiadalah aman,
Tingkah laksamana, datangkan keruan.
Negeri diatur, sewenang-wenang,
Adat disanggah, alang kepalang,
Laksamana paduka, menjadi dalang,
Segala perintahnya, tak boleh di bangkang,
Duduk di Riau, Sultan Johor,
Rencana Laksamana, jelas tersohor,
Muafakat bersama, sudah terkubur,
Daulat raja, hilanglah luhur.
Enam dekat, berlalu masa,
Laksamana sekeluarga, masih berkuasa,
Duli pertuan, tiada periksa,
Pembesar Melayu, menjadi sisa.
Sultan Johor, mangkatlah sudah,
Putera Baginda, kerajaan diserah,
Tingkah laksamana, tetap tak ubah,
Duli Pertuan, berhati gundah.
Sampai masanya, yang bersesuaian,
Titah diberi, Duli Pertuan,
Adat Melayu, ikutlah aturan,
Supaya kita, tidak kerugian.
Bendahara-Sultan, seperti sebadan,
Janganlah cuba, pisah-pisahkan,
Tali yang lerai, kita ikatkan,
Warisan Melaka, kita sambungkan. Dst.
Tun Sri Lanang dan Keluarganya diberi
penghargaan khusus di Aceh. Disamping di
angkat menjadi Raja di Samalanga dan Daerah
Takluknya keluarganyapun di beri
gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan.
Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel
Crecelius & E.A. Beardow, A Reputed
Achehnese Sarakata of The
Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm
52), Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima
Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu
(suntingan Shellabear) 1986 hlm
156). Cucunya (nama lupa) anak dari Tun Jenal
(Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal
Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah
adik kakek sebelah lelaki
sultan Iskandar Muda ((baca Suzana Hj
Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu
yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah
Malaysia, Johor, hlm 181-183) Perkawinan ini
merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu
dengan Nanggroe Aceh Darussalam (lihat
lampiran).
Pujangga Melayu
Tun Sri Lanang disamping ahli pemerintahan
juga dikenal sebagai pujangga melayu.
Karyanya yang menumental adalah kitab
Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini
dikarang mulai bulan Februari 1614 dan siapnya
Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di
kawasan Pasai ( The history of Johor, hlm 345)
.
Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak
jelas disebutkan siapa pengarang yang
sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh oleh
pengarang pengarang dahulu yang berusaha
menyembunyikan penulis aslinya terhadap
hasil karangannya. Bahkan menyebutkan
dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sbb;
Setelah fakir allazi murakkabun 'a;a jahlihi maka
fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan
dia,
syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah,
Tuhan sani'il - 'alam, dan minta huruf kepada
nabi sayyidi'l 'anam, dan minta ampun kepada
sahabat yang akram; maka
fakir karanglah hikayat ini kamasami' tuhu min
jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli
hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini "
Sulalatus Salatin" yakni "pertuturan segala Raja-
Raja". (Baca Sulatus salatin hal 3)
Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang
sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt,
menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting
saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang
kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam
kitabnya Bustanul Salatin fasal ke 12 bab II
menyebutkan:
"Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang
kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar
daripada bapanya, ia mendengar dari pada
neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al
Nabi salla 'llahu 'alaihi wa sallama seribu dua
puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari
Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan
segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka,
Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan
salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar
Zulkarnain_"
Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi
Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor
menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru
pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti
Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat,
Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin
Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin
Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri lanang.
Wallahu a'lam.
Comments
Post a Comment
Please write you coment.