Skip to main content

Diplomat Aceh

Diplomasi Kerajaan Aceh
Oleh Iskandar Norman
Untuk menjalin hubungan dangan kerajaan
Belanda, Raja Aceh, Sultan Alauddin Al Mukamil
mengutus Abdul Hamid ke negeri kincir angin
tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada
Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid
meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan
diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg,
Zeeland.Persaingan dagang kemudian membuat
hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat
untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah
di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis berusaha
menghentikan semua pengangkutan rempah-
rempah dari pelabuhan Aceh.Malah, pada tahun
1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa,
Dirgo Lopez De Sequeira mengancam dengan
mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang
melakukan kontak dagang dengan Aceh. Aceh dan
Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di selat
Malaka.Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis
ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang
menjadi bandar perdagangan rempah-rempah.
Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh
berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke
Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal
Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat
India, membantu armada Raja Kalicut yang
bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.
Selanjutnya, menurut Prof. Dr. H. Aboebakar
Atjeh, dalam tahun 1599--saat itu Aceh dipimpin
Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan
sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604)—
Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan
rempah-rempah.Orang pertama Belanda yang
datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis
de Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya
diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar de
Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan dua
kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan
Aceh.Menyadari adanya misi dagang Belanda ke
Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki
Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak
menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya,
Portugis tetap berkeinginan untuk memonopoli
perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu itu
Portugis bermusuhan dengan Belanda.Raja Aceh
pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu,
Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman
ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal
maka Cornelis pun kemudian dibunuh. Sementara
Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal
Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg,
Belanda. J Kreemer, seorang penulis Belanda dalam
buku “Atjeh” menjelaskan, pada November 1600
Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan
Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal
dari Brabantsche Compagnie untuk merintis
hubungan dagang dengan Aceh.Paulus van
Caerden berhasil membuat suatu perjanjian
dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh
masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak
bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-
rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda,
mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil apa-
apa. Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari
dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van
Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian
mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan
diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa
tersebut terangkum dalam De Europeers in den
Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V
Caerden, dalam buku J.E Heeres: Corpus
Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi
dagang Belanda ke Malaka.Pun demikian, Belanda
terus berusaha untuk merintis perdagangan
rempah-rempah ke Aceh. Diminasi Portugis di
Selat Malaka dalam perdagangan ingin direbut
Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda
terus saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk
melakukan kontak dagang hubungan dagang
antara Aceh dan Portugis jadi putus.Hubungan
dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda
pun resmi terjalin pada tahun 1601. Ketika itu Raja
Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh
yang merintis kembali urusan dagang, mengirim
sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari Kerajaan
Belanda untuk Raja Aceh.Pedagang-pedagang dari
Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut
datang dari misi dagang Gerard le Roy dan Laurens
Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai
Zeeuw yang merupakan sebuah eskader dari
Middelburg.Utusan Raja Belanda itu ipun diterima
dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka
diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk
membeli rempah-rempah di Aceh. Sementara
Frederick de Houtman dan teman-temanya yang
ditahan oleh Sultan Aceh dibebaskan.Ketika kapal
Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-
rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim
utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal
tersebut untuk menguatkan perjanjian
persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan
Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al
Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar
Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir
Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta
penerjemah Leonard Werner.Rombongan ini tiba
di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan
mereka disambut besar-besaran. Pada 9 Agustus
Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana
dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di
Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta Aceh
dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut
kemudian ditulis oleh Dr. J. J. F. Wap dalam buku
“Het gezantschap van den sultan van Achin (1602)
aan Print Maurits van Nassau en de Oud-
Nederlandsche Republiek, ” 1862.Traktrat
LondonPada 2 November 1872, lima bulan
sebelum perang dipermaklumkan, Belanda telah
memperolah kekuasaan dari Inggris untuk
berkuasa di Sumatera. Aceh pun menggeliat,
karena menilai Ingris telah mengingkari perjanjian
dengan Aceh pada tahun 1819 melalui Traktat
London.Dalam Traktat London tersebut, Inggris
menyatakan menghormati kemerdekaan Aceh dan
melindungi pelayaran di Selat Malaka. Karena itu
pula Aceh berlindung dibalik perjanjian tersebut.
Tapi setelah 2 November 1872, Inggris memberi
kekuasaan kepada Belanda untuk berkuasa di
Sumatera dengan tidak akan ikut campur dengan
urusan Sumatera, maka Traktat London itu seakan
tak lagi punya arti.Belanda yang ingin
menancapkan kekuasannya di Sumatera pun mulai
tidak menghormati kedaulatan Aceh. Mereka sering
menggangu kapal-kapal niaga yang akan berlabuh
dari dan ke Aceh. Alasannya, memberantas
pembajakan dan lalu lintas perdagangan budak.
Padahal Belanda ingin memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Selat Malaka.Untuk tujuan itu,
Aceh harus di rebut. Berbagai surat pun dikirim ke
Sultan Aceh, tapi selalau dijawab dengan tegas,
menolak campur tangan Belanda dalam
perdagangan di Aceh.Karena itu pula, orang-orang
Aceh sering merampas kapal Inggris, Belanda,
Italia dan Amerika yang melewati Selat Malaka.
Alasannya, kapal-kapal tersebut membawa
rempah-rempah yang dibeli secara illegal di
berbagai pelabuhan di pantai Aceh bagian barat
dan utara, serta membawa barang
seludupan.Sikap Aceh terhadap Belanda semakin
lama semakin bermusuhan. Khawatir akan terjadi
perang besar dengan belanda. Pada tahun 1868
Aceh melakukan perundingan rahasia dengan
Turki. Tapi Turki waktu itu sangat terikat dengan
Inggris, yang membutuhkan bantuan untuk
melawan Rusia.Diplomasi dengan AmerikaTahun
1872 menjaleng penyerangan Belanda ke Aceh.
Utusan Aceh mengadakan perundingan rahasia
dengan Konsul Jenderal Amerika dan Italia di
Singapura. Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal
Amerika di Singapura, Mayor A.G Studer
memberikan perhatian khusus terhadap pertikaan
Aceh dengan Belanda.Ia mengatakan ingin terlibat
membantu Aceh. Untuk itu Studer mengirim
kawat kepada Panglima skadron angkatan laut
Amerika yang sedang melakukan patroli di Laut
Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut terus
melaju ke Singapura untuk membantu
Aceh.Sambil menunggu angkatan laut Amerika
tersebut, Studer merancang konsep perjanjian
persahabatan antara Aceh dengan Amerika. Tapi
usaha Studer itu gagal, karena Menteri Luar Negeri
Amerika saat itu, Hamilton Fish, menolak untuk
memberikan perhatian khusus pada persoalan
Aceh dengan Belanda. Bahkan dalam suratnya
kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda,
Hamilton menyebut Stuger sebagai konsul yang
tolol. “Orang itu (Stuger-red) benar-benar tolol,”
tulis Hamilton dalam suratnya. Diplomasi Aceh
untuk bekerja sama dengan Amerika pun gagal.
Padahal Stuger dan utusan Aceh di Singapura, saat
itu telah membuat konsep perjanjian dalam bahasa
Inggris dan Melayu.Ternyata dalam pertemuan
utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia di
Singapura waktu itu, juga hadir seorang mata-
mata Belanda yang kemudian membocorkan
rencana kerja sama Aceh dengan Amerika
tersebut. Belanda pun memaikan peran baru,
memaklumatkan perang dengan Aceh, karena tak
ingin Aceh menjalin kerja sama dengan negara
lainnya untuk menghadapi Belanda.Sejarah Aceh
pun terus bergerak dari satu perang ke perang
lainya. Belanda mencatat sebagai perang terlama
dan paling banyak menguras kas negara, plus
darah dan nyawa. Andai konsep perjanjian Aceh
dengan Amerika ditandatangani, mungkin simpul
sejarah Aceh akan bergerak ke arah lain

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

PANGLIMA ISHAK DAUD DIMATA SAYA

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh. Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh. Teungku Ishak Daud, Panglima GAM Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.