Skip to main content

Sumpah Kerajaan Aceh. (3)

Untuk menghadapi ancaman Belanda yang kian nyata menyerang kedaulatan Aceh, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah bersama kabinet perangnya terus mengadakan berbagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan penyerangan Belanda tersebut. Sultan mengemukakan ancaman Belanda tersebut kepada Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73 orang wakil rakyat. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Kanun Meukuta Alam halaman 90-91, naskah lama bertulis tangan dengan huruf Arab. Dalam dokumen lama kerajaan Aceh disebutkan, ketika pada masa-masa tegang menghadapi ancaman Belanda, Pada Jumat 30 Zulhijjah 1289 Hijriah

(1872 Masehi) Kerajaan Aceh kembali menggelar sidang istimewa di dalam Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh
Darussalam. Sidang istimewa itu disebut sebagai sidang istimewa Balai Majelis Mahkamah Rakyat. Dalam sidang itu disampaikan khutbah kerajaan yang dibacakan oleh Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam kedudukannya sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan) dan sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jendral. Sidang istimewa itu selain dihadiri oleh 73 orang anggota Balai majelis Mahkamah Rakyat juga diundang para uleebalang, para ulama, pimpinan rakyat dan para perwira angkatan perang. 
Khutbah kerajaan yang dibacakan Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam sidang istimewa itu diantaranya berisi perintah dari keputusan mufakat kerajaan untuk menghadapi Belanda. Salah satu bagian isi khutbah itu berbunyi: “…Dengan keputusan sabda mufakat Kerjaaan Aceh Bandar Darussalam beserta ijma mufakat alim ulama yang guru-guru hamba dan payung hamba, maka di sini sekarang ini hingga akan datang turun menurun salin-malin masing-masing terus menerus, hamba amanahkan dan hamba wasiatkan, bahwa kita semua akan menghadapi maut, yang hendak menyerang negeri kita ini oleh Holanda dan beserta kaum kerabat ahli warisnya Holanda yang tidak jauh dengan kita yaitu sahabat karib Holanda, yaitu yang khianat pada agama Islam, dan khianat pada negeri, dan khianat pada bangsa, dan khianat pada kerajaan Aceh …
” Pada bagian lainnya surat itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menekankan kewajiban bagi rakyat Aceh untuk berperang melawan Belanda sebagai perang fi sabilillah, serta jangan pernah menyerah kepada jajahan negeri tersebut. Dalam khutbah itu ia kembali menegaskan: “…Wahai sekalian tuan-tuan yang hamba Allah semua! Bahwa kita semua akan menghadapi maut fi sabilillah yaitu dua perkara: pertama menang perang, kedua syahid, ketiga tak ada sekali-kali yaitu menyerah kepada Holanda …” Sulthan Alaiddin Mahmud Syah di bagian tengah khutbah kerjaan yang dibacakan Said Abdullah Teungku Di Meulek itu juga menegaskan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan rakyat dalam menghadapi ancaman agresi militer Belanda yang saat itu semakin nyata saja akan menyerang kedaulatan Kerajaan Aceh. Ia juga meminta untuk tidak mengampuni para pengkhianat yang membantu Belanda masuk ke Aceh. “…Holanda itu musuh kita dan musuh anak cucu kita. Tuan-tuan jangan takut, jangan ngeri tuan-tuan menghantam Holanda dan sekalian kaum sahabat karib Holanda, bunuhlah pengkhianat negeri walau siapa sekalipun. Ingat yang musuh tetap musuh…” Dalam khutbah itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah juga menyinggung tentang nasib masyarakat Jawa yang saat itu sudah 250 tahun di jajah oleh Belanda. Ia menyebutnya sebagai negeri di bawah angin yang berpusat di Jawakarta. Sultan menjelaskan tentang penderitaan rakyat Jawa yang sudah dua setengah abad dikuasai Belanda waktu itu. Ia tidak
ingin rakyat Aceh mengalami nasib yang sama seperti Jawa yang telah dikuasai Belanda dan diperas hasil buminya. Ia mengambarkan jajahan Belanda terhadap Jawa itu sebagai tragedi penghisab darah.
“…Ingat tuan-tuan, bahwa Holanda berkulit delima putih sudah dua ratus lima puluh tahun menjajah Negeri Bawah Angin yang berpusat di Jawakarta, menganiaya rakyat bawah angin dengan merampas harta rakyat bawah angin, mengazab dan menghisap darah rakyat bawah angin. Turun temurun rakyat bawah angin dalam azab sengsara yang diperbuat oleh Holanda atas rakyat bawah angin…” Sulthan juga menyinggung tentang akan munculnya golongan dan orang-orang yang akan membantu Belanda di Aceh. Mereka merupakan para pengkhianat yang akan membantu Belanda masuk Aceh. Mereka yang menjadi duri dalam daging yang menggunting dalam lipatan itu oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah disebut sebagai Belanda kulit hitam. Mereka inilah yang digolongkan dalam musuh besar agama dan musuh kerajaan Aceh. Analisa Sulthan Alaiddin Mahmud Syah terhadap kemungkinan munculnya golongan ini sangat jelas dalam khutbahnya itu. 
Sebelum Belanda benar- benar masuk dan menyerang Aceh, ia yakin akan muncul golongan pengkhianat yang kemudian dikenal sebagai cuak, golongan yang selalu muncul dalam sejarah perang Aceh. Analisa ini disampaikannya berdasarkan laporan dari Peutua Balei Sisasah Keurajeun yakni kepala intelijen kerajaan. Badan intelijen kerajaan menangkap adanya orang-orang dari Jawa yang menjadi kaki tangan Belanda, mulai masuk ke Aceh untuk mempengaruhi para uleebalang agar menerima kedatangan Belanda. Karena itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menyerukan kepada rakyat untuk tidak terpengaruh dan tetap bahu membahu melawan Belanda. Kepada rakyat Aceh ia sampaikan seruannya. “…hendaklah kita bersatu, bahu membahu berpegang alat senjata apa saja yang ada, kita lawan, kita hantam, kita hancurkan musuh kita, yaitu Holanda kulit delima putih dan Holanda hitam warna kulit, yang dekat dengan kita.
Maka hendaklah tuan-tuan sapu bersih dua macam Holanda, yaitu satu Holanda luar negeri dan satu lagi Holanda dalam negeri Aceh sendiri..” Isi khutbah kerajaan Aceh dari Sulthan Alaiddin Mahmud Syah itu dicatat dalam sara kata kerajaan, naskahnya bertulis tangan dengan mengunakan huruf Arab.
Naskah-naskah tersebut disimpan oleh selaku Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh. Cucuku, kalau kamu ingin melihat dokumen itu ada pada ketrurunan Said Abdullah Teungu Di Meulek yang
menyimpannya secara turun temurun sebagai dokumen penting kerajaan Aceh. *** Tamat *** 

Oleh: Iskandar Norman

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

PANGLIMA ISHAK DAUD DIMATA SAYA

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh. Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh. Teungku Ishak Daud, Panglima GAM Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.