WACANA larangan memakai busana ketat bagi wanita muslim di Aceh Barat
yang digagas Bupati setempat semakin
menuai kontroversi. Ada yang pro dan
tidak sedikit pula yang kontra. Anehnya
kaum yang menentang wacana tersebut
bukan muncul dari sekelompok non muslim, tetapi malah dari kalangan
orang Aceh sendiri yang notabene
muslim sejak moyangnya. Oleh
karenanya, beberapa argumen dan
perang urat saraf yang dilontarkan oleh
pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap larangan memakai busana
ketat sepertinya semakin menarik untuk
dikaji dari berbagai perspektif yang
berbeda. Pertama, sudut pandang konstitusi.
Legalitas sebuah aturan di Indonesia
dituangkan dalam produk hukum yang
bersifat hirarkis, di mana hukum di
tingkat bawah tidak boleh melanggar
hukum yang lebih tinggi. Aturan terhadap larangan memakai busana
ketat dituangkan dalam qanun atau
peraturan lokal yang lain, sehingga ada
yang mengklaim bahwa aturan tersebut
melanggar konstitusi karena
bertentangan dengan hukum nasional. Pendapat semacam ini tanpa sadar telah
mengabaikan Aceh sebagai lex
specialist yang memiliki kewenangan
menerapkan hukum yang berbeda
dengan Hukum Nasional sebagaimana
kekuatan hukum yang dimiliki oleh qanun khalwat, judi dan maisir yang
telah diterapkan selama sejak
pemberlakuan Syariat Islam, dan tetap
diakui oleh konstitusi serta tidak
menimbulkan penafsiran hukum yang
kontradiktif. Bila ditinjau secara lebih jauh, larangan memakai busana ketat
bukanlah wacana baru yang ilegal
karena aturan tersebut telah lama
disahkan dalam Qanun No.11 Tahun
2002 sebagaimana yang termuat dalam
pasal 13 ayat 1 dan 2 bahwa: "Setiap orang Islam wajib berbusana islami".
Lebih dari itu larangan berbusana ketat
malah menyokong implementasi Hukum
Nasional yaitu Undang-Undang No.44
Tahun 2008 tentang larangan pornografi
dan pornoaksi. Kedua, sudut pandang Hak Asasi
Manusia (HAM). Dalam perspektif ini,
orang menganggap bahwa masalah
busana adalah ranah privasi yang tidak
boleh diganggu gugat oleh siapa pun,
bahkan oleh Tuhan sekalipun. Bagi yang mencoba mendobraknya dianggap telah
melakukan pelanggaran HAM. Dalam
doktrin ini, ayat-ayat Tuhan terkadang
dikalahkan oleh kepentingan HAM yang
dibuat berdasarkan pertimbangan akal
manusia. Oleh karenanya kita perlu berhati-hati terhadap isu HAM yang
dilontarkan dunia barat khususnya
kaum orientalis yang berniat
melemahkan keyakinan umat Islam
terhadap syari'atnya sendiri. Namun demikian, alasan pelanggaran
HAM ternyata belum bisa menjadi
pembenaran terhadap penolakan aturan
busana muslimah, sebab alasan
tersebut belum begitu sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum itu sendiri, dimana sebuah implementasi hukum tidak
dianggap melanggar HAM apabila
digagas dan dilahirkan dalam sebuah
Qanun melalui proses panjang yang
disepakati bersama serta melibatkan
berbagai elemen masyarakat termasuk ulama, LSM, akademisi, eksekutif dan
legislatif. Jika tidak, tentu saja dunia ini
akan berserak dengan berbagai
Undang-undang yang melanggar HAM
hanya karena ada yang merasa
terganggu dengan penerapan hukum tersebut. Padahal bukan hanya Aceh
atau Islam yang mengatur ranah privasi
seseorang, bahkan beberapa agama
dan Negara juga mengatur hal yang
sama, misalnya larangan merokok,
memakai shabu-shabu, mengenderai sambil mabuk, larangan pornografi dan
pornoaksi, dan sebagainya, lalu apakah
semua larangan tersebut juga
melanggar HAM? Ketiga, prinsip demokrasi. Demokrasi
saat ini masih saja tampil sebagai
pemenang demi melegalkan
kepentingan manusia dan mengingkari
perintah Tuhan. Namanya demokrasi,
seseorang bebas menentukan pilihannya untuk memakai busana
muslim atau tidak. Namun pandangan
logis lebih setuju bahwa anda tidak
pernah bebas saat masuk dalam
komunitas tertentu seperti agama,
negara, organisasi dan sebagainya. Selalu ada aturan mengikat yang
mengatur kehidupan pribadi anda. Jika
anda berada dalam komunitas agama
Islam, maka sepantasnyalah Al Quran,
Hadits, Ijma', Qiyas dan Syari'at Islam
berhak untuk memberikan peringatan baik-buruk terhadap busana ketat
bahkan membuat aturan dan sanksi
semata-mata karena rasa kasihan dan
kepedulian terhadap saudara seiman. Syari'at Islam tidak mungkin
dilaksanakan secara kaffah dalam
sistem yang bernama demokrasi.
Karena hakikat demokrasi ini adalah
suara terbanyak tak peduli halal dan
haram. Jadi kalau mayoritas bilang jilbab haram, maka sah saja negara
menyetujui jilbab haram. Begitu
sebaliknya, bila pelacuran dikatakan
halal karena ada maslahat di sana yaitu
pajak bagi negara, maka demokrasi pun
mengesahkannya. Lalu bagaimana dengan larangan busana ketat, apakah
kita perlu melakukan voting suara demi
menghormati 'tuhan' demokrasi? Tentu
saja tidak, karena Syari'at Islam tidak
bisa sempurna penerapannya dalam
sistem kufur bernama demokrasi. Syari'ah hanya bisa tegak dalam sebuah
sistem yang memang sudah ada
tuntunannya dalam Islam yaitu Khilafah
Islamiyah. Keempat, prinsip utilitas. Larangan
busana ketat dianggap sebagai hal yang
tidak perlu diatur secara serius, selain
memboroskan waktu juga tidak
berdampak langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Pandangan ini bertolak belakang dengan manfaat
yang dijanjikan Allah dalam Al Quran
bahwa Allah akan memberikan
kemakmuran terhadap bangsa yang
taat, mengeluarkan rezeki dari bumi dan
menurunkan rezeki dari langit. Di samping itu busana menunjukkan
pribadi seseorang yang memiliki jati diri
yang kuat, budaya berbusana ketat juga
menunjukkan moralitas suatu bangsa.
Membiarkan masyarakat terpuruk
dalam krisis moralitas yang berkepanjangan merupakan sikap yang
tidak bisa dibenarkan oleh agama dan
negara. Biar pun kenyataannya
sebagian orang yang berbusana muslim
belum tentu berprilaku baik, namun
tidak berarti kita harus menyalahkan busananya, namun yang patut kita
persalahkan adalah perbuatannya. Kelima, konflik kepentingan. Hanya
demi menyelamatkan kepentingan
pribadi atau golongan, seseorang
mencoba menghalalkan segala cara
untuk menentang larangan busana
ketat. Para pedagang yang sering memperoleh omset besar dari hasil
penjualan Pakaian Jeans tentu merasa
terancam kehilangan langganan jika
mereka dipaksa berhenti. Perasaan risih
juga menghantui para agen, pimpinan
dan karyawan industri pakaian ketat yang bakalan sulit memasarkan
produknya ke Aceh lantaran harus
berhadapan dengan konsekuensi
hukum. Bahkan Pemerintah Pusat
sendiri tidak mau ambil risiko dengan
berkurangnya pendapatan negara yang bersumber dari bisnis pakaian setan. Maka wajar saja jika Menteri Dalam
Negeri melarang daerah lain untuk
meniru apa yang dilakukan Bupati Aceh
Barat. Sama halnya dengan beberapa
LSM lokal yang selama ini gencar
menentang Syari'at Islam, terutama mereka yang memperoleh kucuran
dana dari pihak asing anti syari'at
(orientalis). Mereka merasa gagal jika
tidak mampu memperjuangkan aspirasi
tuannya, bisa-bisa bantuan dana tidak
lagi mengalir dengan lancar. Yang lebih riskan jika kontrak kerjasama bahkan
diputuskan secara total. Maka sangat
masuk akal saat sebuah aturan Tuhan
dipaksakan, merupakan sesuatu yang
lazim jika konflik kepentingan pun tak
bisa dielakkan. Hal ini sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk
menunjukkan komitmennya terhadap
penegakan Syariat Islam di bumi
Serambi Mekah biarpun jabatan atau
nyawa sebagai taruhannya, ketimbang
mempertaruhkan syurga yang dijanjikan Allah terhadap orang-orang
yang menegakkan syari'at-Nya. Jika kita ingin jujur, perintah berbusana
muslim sebenarnya memiliki manfaat
yang sangat besar dalam tatanan
kehidupan agama, sosial, budaya dan
kesehatan, yaitu: (a) sebagai nilai
indentitas seorang muslim sejati yang mudah dikenali; (b) seorang muslimah
tidak diganggu oleh pria jahat karena
busana muslimah tidak merangsang
syahwat laki-laki untuk berbuat maksiat
seperti berzina, memperkosa,
berkhalwat, onani dan sebagainya; (c) terciptanya perilaku masyarakat desa
dan kota yang sopan, ramah lingkungan,
menghargai orang lain dan tidak
mengganggu kepentingan umum.Di
beberapa negara Eropa non muslim
kehidupan domestik/privat dipisahkan secara tegas dari kehidupan publik,
negara melarang masyarakatnya
melakukan ciuman di tempat umum
karena dianggap mengganggu emosi
orang lain. Bercermin dari aturan negara lain, maka
sudah sepantasnya kalau praktik-
praktik seperti berbusana ketat hanya
boleh dilakukan pada ranah privat; (d)
mengangkat harkat dan martabat kaum
wanita yang tidak lagi berpenampilan seksi sehingga mereka tidak lagi
terkesan sebagai objek seks yang tidak
patut dihargai, malah sebaliknya
kemolekan tubuhnya dimanfaatkan
untuk tujuan komersil, cuci mata,
imajinasi dan sejenisnya; (e) pakaian ketat berbahaya bagi kesehatan.
Menurut dr Ryan Thamrin, ahli
kandungan dan konsultan seks,
penggunaan celana jeans ketat pada
wanita kerap menimbulkan jamur,
keputihan, ataupun gatal-gatal pada bagian vital. Ini disebabkan timbunan
keringat yang ada di daerah itu tidak
bisa keluar dengan baik dan cenderung
menumpuk. Sedangkan menurut hasil
kajian sebuah lembaga penelitian di
Indonesia soal kualitas sperma pria yang kerap menggunakan celana ketat,
hasilnya sangatlah mencengangkan,
yaitu jumlah sperma yang biasanya 60
juta per mililiter kini turun drastis hingga
ke angka 20 juta per mililiter. (tinjauan
kesehataan ini dipublikasi dalam: pikiranrakyat-online.com)
Larangan busana ketat tidaklah semulus
wacana dan retorika, pemerintah dan
masyarakat akan berhadapan dengan
kendala yang tajam pada tataran
implementasi. Untuk itu penulis menganjurkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah agar
larangan busana ketat dapat dijalankan
dengan sempurna. Beberapa Tawaran Solusi Pertama, pemerintah harus
mengawalinya dengan niat yang tulus
untuk kebaikan masyarakat, bukan
hanya untuk mengalihkan isu demi
kepentingan sesaat atau mempolitisir
syari'at untuk mencari popularitas semata, dan bukan pula untuk
membuktikan Aceh Barat yang telah
dinobatkan sebagai Kabupaten Tauhid-
Tasawuf. Kedua, penerapan Syari'at
Islam tidak boleh diskriminatif dimana
hanya terbatas pada cara berpakaian, zina, khalwat, khamar dan maisir tetapi
juga harus secara menyeluruh bahkan
sampai pada hukuman potong tangan
terhadap pelaku korupsi. Aturan
larangan pakaian ketat jangan hanya
terhadap wanita tetapi juga kaum pria yang memakai celana pendek maupun
pakaian yang menampakkan lekuk
tubuh. Aturan juga harus berlaku untuk
semua lapisan masyarakat. Bukan
hanya untuk masyarakat kecil saja,
sementara istri pejabat, PNS, pramugari, karyawan bank, karyawan swalayan,
dan kawan-kawan bebas berkeliaran
tanpa tersentuh oleh hukum. Jika prinsip
keadilan tidak dijalankan maka
masyarakat tidak percaya terhadap
pemerintah dan acuh tak acuh terhadap Syari'at Islam. Ketiga, perlu sosialisasi yang lebih lama
agar masyarakat memahami betul
terhadap implementasi sebuah Qanun
sehingga tidak menimbulkan penafsiran
ganda atau memunculkan berbagai
kesalahpahaman terhadap Syari'at. Karena kenyataan menunjukkan bahwa
sebagian yang mengecam Syari'at Islam
mengaku belum pernah membaca
aturan tersebut. Keempat, memberikan
ruang gerak yang lebih luas terhadap
peran serta ulama, masyarakat dan orangtua untuk secara bersama-sama
mengontrol prilaku saudara seiman
agar mematuhi hukum, misalnya seperti
penerapan reusam gampong yang
pernah dipraktikkan oleh masyarakat
Aceh tempo dulu. Sebagai seorang muslim nampaknya
kita perlu melihat secara lebih cermat
esensi pelarangan busana ketat yang
sesungguhnya sebelum menantang
secara berlebihan. Kita tidak semestinya
termakan oleh isu-isu demokrasi, pelanggaran HAM dan gender yang
dilontarkan oleh musuh-musuh Islam
untuk melemahkan aqidah dan
komitmen ibadah serta untuk
menciptakan konflik di antara sesama
muslim sendiri. Wallahua'lam bi shawab. Oleh Masykur M.Yusuf , Staf KPU Pidie Jaya dan alumni IAIN Ar-Raniry
yang digagas Bupati setempat semakin
menuai kontroversi. Ada yang pro dan
tidak sedikit pula yang kontra. Anehnya
kaum yang menentang wacana tersebut
bukan muncul dari sekelompok non muslim, tetapi malah dari kalangan
orang Aceh sendiri yang notabene
muslim sejak moyangnya. Oleh
karenanya, beberapa argumen dan
perang urat saraf yang dilontarkan oleh
pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap larangan memakai busana
ketat sepertinya semakin menarik untuk
dikaji dari berbagai perspektif yang
berbeda. Pertama, sudut pandang konstitusi.
Legalitas sebuah aturan di Indonesia
dituangkan dalam produk hukum yang
bersifat hirarkis, di mana hukum di
tingkat bawah tidak boleh melanggar
hukum yang lebih tinggi. Aturan terhadap larangan memakai busana
ketat dituangkan dalam qanun atau
peraturan lokal yang lain, sehingga ada
yang mengklaim bahwa aturan tersebut
melanggar konstitusi karena
bertentangan dengan hukum nasional. Pendapat semacam ini tanpa sadar telah
mengabaikan Aceh sebagai lex
specialist yang memiliki kewenangan
menerapkan hukum yang berbeda
dengan Hukum Nasional sebagaimana
kekuatan hukum yang dimiliki oleh qanun khalwat, judi dan maisir yang
telah diterapkan selama sejak
pemberlakuan Syariat Islam, dan tetap
diakui oleh konstitusi serta tidak
menimbulkan penafsiran hukum yang
kontradiktif. Bila ditinjau secara lebih jauh, larangan memakai busana ketat
bukanlah wacana baru yang ilegal
karena aturan tersebut telah lama
disahkan dalam Qanun No.11 Tahun
2002 sebagaimana yang termuat dalam
pasal 13 ayat 1 dan 2 bahwa: "Setiap orang Islam wajib berbusana islami".
Lebih dari itu larangan berbusana ketat
malah menyokong implementasi Hukum
Nasional yaitu Undang-Undang No.44
Tahun 2008 tentang larangan pornografi
dan pornoaksi. Kedua, sudut pandang Hak Asasi
Manusia (HAM). Dalam perspektif ini,
orang menganggap bahwa masalah
busana adalah ranah privasi yang tidak
boleh diganggu gugat oleh siapa pun,
bahkan oleh Tuhan sekalipun. Bagi yang mencoba mendobraknya dianggap telah
melakukan pelanggaran HAM. Dalam
doktrin ini, ayat-ayat Tuhan terkadang
dikalahkan oleh kepentingan HAM yang
dibuat berdasarkan pertimbangan akal
manusia. Oleh karenanya kita perlu berhati-hati terhadap isu HAM yang
dilontarkan dunia barat khususnya
kaum orientalis yang berniat
melemahkan keyakinan umat Islam
terhadap syari'atnya sendiri. Namun demikian, alasan pelanggaran
HAM ternyata belum bisa menjadi
pembenaran terhadap penolakan aturan
busana muslimah, sebab alasan
tersebut belum begitu sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum itu sendiri, dimana sebuah implementasi hukum tidak
dianggap melanggar HAM apabila
digagas dan dilahirkan dalam sebuah
Qanun melalui proses panjang yang
disepakati bersama serta melibatkan
berbagai elemen masyarakat termasuk ulama, LSM, akademisi, eksekutif dan
legislatif. Jika tidak, tentu saja dunia ini
akan berserak dengan berbagai
Undang-undang yang melanggar HAM
hanya karena ada yang merasa
terganggu dengan penerapan hukum tersebut. Padahal bukan hanya Aceh
atau Islam yang mengatur ranah privasi
seseorang, bahkan beberapa agama
dan Negara juga mengatur hal yang
sama, misalnya larangan merokok,
memakai shabu-shabu, mengenderai sambil mabuk, larangan pornografi dan
pornoaksi, dan sebagainya, lalu apakah
semua larangan tersebut juga
melanggar HAM? Ketiga, prinsip demokrasi. Demokrasi
saat ini masih saja tampil sebagai
pemenang demi melegalkan
kepentingan manusia dan mengingkari
perintah Tuhan. Namanya demokrasi,
seseorang bebas menentukan pilihannya untuk memakai busana
muslim atau tidak. Namun pandangan
logis lebih setuju bahwa anda tidak
pernah bebas saat masuk dalam
komunitas tertentu seperti agama,
negara, organisasi dan sebagainya. Selalu ada aturan mengikat yang
mengatur kehidupan pribadi anda. Jika
anda berada dalam komunitas agama
Islam, maka sepantasnyalah Al Quran,
Hadits, Ijma', Qiyas dan Syari'at Islam
berhak untuk memberikan peringatan baik-buruk terhadap busana ketat
bahkan membuat aturan dan sanksi
semata-mata karena rasa kasihan dan
kepedulian terhadap saudara seiman. Syari'at Islam tidak mungkin
dilaksanakan secara kaffah dalam
sistem yang bernama demokrasi.
Karena hakikat demokrasi ini adalah
suara terbanyak tak peduli halal dan
haram. Jadi kalau mayoritas bilang jilbab haram, maka sah saja negara
menyetujui jilbab haram. Begitu
sebaliknya, bila pelacuran dikatakan
halal karena ada maslahat di sana yaitu
pajak bagi negara, maka demokrasi pun
mengesahkannya. Lalu bagaimana dengan larangan busana ketat, apakah
kita perlu melakukan voting suara demi
menghormati 'tuhan' demokrasi? Tentu
saja tidak, karena Syari'at Islam tidak
bisa sempurna penerapannya dalam
sistem kufur bernama demokrasi. Syari'ah hanya bisa tegak dalam sebuah
sistem yang memang sudah ada
tuntunannya dalam Islam yaitu Khilafah
Islamiyah. Keempat, prinsip utilitas. Larangan
busana ketat dianggap sebagai hal yang
tidak perlu diatur secara serius, selain
memboroskan waktu juga tidak
berdampak langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Pandangan ini bertolak belakang dengan manfaat
yang dijanjikan Allah dalam Al Quran
bahwa Allah akan memberikan
kemakmuran terhadap bangsa yang
taat, mengeluarkan rezeki dari bumi dan
menurunkan rezeki dari langit. Di samping itu busana menunjukkan
pribadi seseorang yang memiliki jati diri
yang kuat, budaya berbusana ketat juga
menunjukkan moralitas suatu bangsa.
Membiarkan masyarakat terpuruk
dalam krisis moralitas yang berkepanjangan merupakan sikap yang
tidak bisa dibenarkan oleh agama dan
negara. Biar pun kenyataannya
sebagian orang yang berbusana muslim
belum tentu berprilaku baik, namun
tidak berarti kita harus menyalahkan busananya, namun yang patut kita
persalahkan adalah perbuatannya. Kelima, konflik kepentingan. Hanya
demi menyelamatkan kepentingan
pribadi atau golongan, seseorang
mencoba menghalalkan segala cara
untuk menentang larangan busana
ketat. Para pedagang yang sering memperoleh omset besar dari hasil
penjualan Pakaian Jeans tentu merasa
terancam kehilangan langganan jika
mereka dipaksa berhenti. Perasaan risih
juga menghantui para agen, pimpinan
dan karyawan industri pakaian ketat yang bakalan sulit memasarkan
produknya ke Aceh lantaran harus
berhadapan dengan konsekuensi
hukum. Bahkan Pemerintah Pusat
sendiri tidak mau ambil risiko dengan
berkurangnya pendapatan negara yang bersumber dari bisnis pakaian setan. Maka wajar saja jika Menteri Dalam
Negeri melarang daerah lain untuk
meniru apa yang dilakukan Bupati Aceh
Barat. Sama halnya dengan beberapa
LSM lokal yang selama ini gencar
menentang Syari'at Islam, terutama mereka yang memperoleh kucuran
dana dari pihak asing anti syari'at
(orientalis). Mereka merasa gagal jika
tidak mampu memperjuangkan aspirasi
tuannya, bisa-bisa bantuan dana tidak
lagi mengalir dengan lancar. Yang lebih riskan jika kontrak kerjasama bahkan
diputuskan secara total. Maka sangat
masuk akal saat sebuah aturan Tuhan
dipaksakan, merupakan sesuatu yang
lazim jika konflik kepentingan pun tak
bisa dielakkan. Hal ini sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk
menunjukkan komitmennya terhadap
penegakan Syariat Islam di bumi
Serambi Mekah biarpun jabatan atau
nyawa sebagai taruhannya, ketimbang
mempertaruhkan syurga yang dijanjikan Allah terhadap orang-orang
yang menegakkan syari'at-Nya. Jika kita ingin jujur, perintah berbusana
muslim sebenarnya memiliki manfaat
yang sangat besar dalam tatanan
kehidupan agama, sosial, budaya dan
kesehatan, yaitu: (a) sebagai nilai
indentitas seorang muslim sejati yang mudah dikenali; (b) seorang muslimah
tidak diganggu oleh pria jahat karena
busana muslimah tidak merangsang
syahwat laki-laki untuk berbuat maksiat
seperti berzina, memperkosa,
berkhalwat, onani dan sebagainya; (c) terciptanya perilaku masyarakat desa
dan kota yang sopan, ramah lingkungan,
menghargai orang lain dan tidak
mengganggu kepentingan umum.Di
beberapa negara Eropa non muslim
kehidupan domestik/privat dipisahkan secara tegas dari kehidupan publik,
negara melarang masyarakatnya
melakukan ciuman di tempat umum
karena dianggap mengganggu emosi
orang lain. Bercermin dari aturan negara lain, maka
sudah sepantasnya kalau praktik-
praktik seperti berbusana ketat hanya
boleh dilakukan pada ranah privat; (d)
mengangkat harkat dan martabat kaum
wanita yang tidak lagi berpenampilan seksi sehingga mereka tidak lagi
terkesan sebagai objek seks yang tidak
patut dihargai, malah sebaliknya
kemolekan tubuhnya dimanfaatkan
untuk tujuan komersil, cuci mata,
imajinasi dan sejenisnya; (e) pakaian ketat berbahaya bagi kesehatan.
Menurut dr Ryan Thamrin, ahli
kandungan dan konsultan seks,
penggunaan celana jeans ketat pada
wanita kerap menimbulkan jamur,
keputihan, ataupun gatal-gatal pada bagian vital. Ini disebabkan timbunan
keringat yang ada di daerah itu tidak
bisa keluar dengan baik dan cenderung
menumpuk. Sedangkan menurut hasil
kajian sebuah lembaga penelitian di
Indonesia soal kualitas sperma pria yang kerap menggunakan celana ketat,
hasilnya sangatlah mencengangkan,
yaitu jumlah sperma yang biasanya 60
juta per mililiter kini turun drastis hingga
ke angka 20 juta per mililiter. (tinjauan
kesehataan ini dipublikasi dalam: pikiranrakyat-online.com)
Larangan busana ketat tidaklah semulus
wacana dan retorika, pemerintah dan
masyarakat akan berhadapan dengan
kendala yang tajam pada tataran
implementasi. Untuk itu penulis menganjurkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah agar
larangan busana ketat dapat dijalankan
dengan sempurna. Beberapa Tawaran Solusi Pertama, pemerintah harus
mengawalinya dengan niat yang tulus
untuk kebaikan masyarakat, bukan
hanya untuk mengalihkan isu demi
kepentingan sesaat atau mempolitisir
syari'at untuk mencari popularitas semata, dan bukan pula untuk
membuktikan Aceh Barat yang telah
dinobatkan sebagai Kabupaten Tauhid-
Tasawuf. Kedua, penerapan Syari'at
Islam tidak boleh diskriminatif dimana
hanya terbatas pada cara berpakaian, zina, khalwat, khamar dan maisir tetapi
juga harus secara menyeluruh bahkan
sampai pada hukuman potong tangan
terhadap pelaku korupsi. Aturan
larangan pakaian ketat jangan hanya
terhadap wanita tetapi juga kaum pria yang memakai celana pendek maupun
pakaian yang menampakkan lekuk
tubuh. Aturan juga harus berlaku untuk
semua lapisan masyarakat. Bukan
hanya untuk masyarakat kecil saja,
sementara istri pejabat, PNS, pramugari, karyawan bank, karyawan swalayan,
dan kawan-kawan bebas berkeliaran
tanpa tersentuh oleh hukum. Jika prinsip
keadilan tidak dijalankan maka
masyarakat tidak percaya terhadap
pemerintah dan acuh tak acuh terhadap Syari'at Islam. Ketiga, perlu sosialisasi yang lebih lama
agar masyarakat memahami betul
terhadap implementasi sebuah Qanun
sehingga tidak menimbulkan penafsiran
ganda atau memunculkan berbagai
kesalahpahaman terhadap Syari'at. Karena kenyataan menunjukkan bahwa
sebagian yang mengecam Syari'at Islam
mengaku belum pernah membaca
aturan tersebut. Keempat, memberikan
ruang gerak yang lebih luas terhadap
peran serta ulama, masyarakat dan orangtua untuk secara bersama-sama
mengontrol prilaku saudara seiman
agar mematuhi hukum, misalnya seperti
penerapan reusam gampong yang
pernah dipraktikkan oleh masyarakat
Aceh tempo dulu. Sebagai seorang muslim nampaknya
kita perlu melihat secara lebih cermat
esensi pelarangan busana ketat yang
sesungguhnya sebelum menantang
secara berlebihan. Kita tidak semestinya
termakan oleh isu-isu demokrasi, pelanggaran HAM dan gender yang
dilontarkan oleh musuh-musuh Islam
untuk melemahkan aqidah dan
komitmen ibadah serta untuk
menciptakan konflik di antara sesama
muslim sendiri. Wallahua'lam bi shawab. Oleh Masykur M.Yusuf , Staf KPU Pidie Jaya dan alumni IAIN Ar-Raniry
Comments
Post a Comment
Please write you coment.