Tana Toraja terkenal akrab dengan kematian, tradisi yang melekat sejak animisme masih dianut. Salah satu kegiatan yang masih berlangsung sehubungan dengan itu adalah ma’nene, ziarah kubur dengan membersihkan dan mengganti pakaian para jasad. Wartawan Tempo, Irmawati, berkesempatan mengikuti warisan aluk todolo (adat orang dulu) ini di Desa Bululangkan, Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, September lalu.90 PULUHAN peti jenazah beraneka usia berjejer di depan setiap patane atau rumah makam keluarga. Setelah tiga tahun, baru peti-peti itu dikeluarkan.
Wujudnya macam-macam. Ada yang polos, ada yang berukir khas Toraja. Beberapa jasad dalam peti masih terbungkus rapi, sebagian lainnya ada yang kotor berdebu. Nama-nama yang tercantum di masing-masing kain sulit dibaca. Di samping puluhan peti itu, terdapat bungkusan jenazah lain tanpa peti. Bentuknya seukuran tubuh manusia yang dibalut kain tebal. ”Nek Banaa tak suka dikasih peti,” kata Sarlota Sanda, putrinya. Di patane sebelah, tiba-tiba terdengar sorak-sorai. Keluarga yang sedang membuka peti mayat para leluhurnya itu tampak kegirangan. Satu mumi laki-laki sedang dipegang dalam posisi berdiri. Ia tampak utuh. Massa tubuhnya sedikit mengecil, meski tingginya bak orang normal. Namanya: Bapak Esra Lumbaa. Menurut keluarga, ia wafat pada 1998. Jeprat-jepret kamera langsung terjadi, baik dengan kamera saku, handycam, maupun telepon seluler. Beberapa orang minta difoto bersama mumimumi itu. Tak ada rasa takut. Ada yang menciumi mumi-mumi tersebut berulang-ulang. Tapi, dalam hitungan menit, ekspresi kegirangan itu segera berganti. Tawa berubah menjadi tangisan. Lambatlaun tangisan saling bersambut hingga terdengar seolah berkejaran satu sama lain. Setelah senang melihat wujud jasad yang masih utuh, kali ini mereka mengutarakan rindu dan kesedihan mereka, sepeninggal orang-orang kesayangan itu ke alam baka.
Suasananya seperti drama sebuah arisan berkala dengan mereka yang telah pergi selamanya. ’Arisan’ berkala itu adalah ma’nene atau upacara penggantian kain jenazah yang menjadi wujud rasa hormat kepada para leluhur, atau semacam ziarah kubur. Ma’nene, yang artinya menanam bunga, adalah warisan aluk todolo (adat orang dulu) saat masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Prosesi ini digelar setelah pesta rambu solo, upacara pemakaman yang sering juga disebut pesta kematian, dan sebelum rambu tu’ka atau pesta naik rumah Tongkonan—rumah asli Toraja dengan atap menyerupai perahu. Kepada antropolog Toby Alice Volkman, yang menuliskannya dalam buku Feast of Honor, Ritual and Change in The Toraja Highlands, seorang warga Toraja mengatakan bahwa dalam tradisi ma’nene, mereka yang masih mempercayai tradisi aluk ini harus ikut serta, yang paling miskin sekalipun. Ia biasanya diadakan pada Agustus, setelah mereka yang mati dikuburkan dan sebelum musim tanam dimulai. Di sejumlah daerah upacara ini diadakan hanya lima atau sepuluh tahun sekali.
Kali ini penyelenggaranya adalah Desa Bululangkan, Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi
Selatan. Toraja Utara adalah kabupaten baru, hasil pemisahan dari Kabupaten Tana Toraja. Beberapa kecamatan di Toraja Utara yang masih menggelar prosesi ini adalah Rindingallo, Ampang Batu, Kantun Poya, Baruppu, Awan, dan Sesean.
Comments
Post a Comment
Please write you coment.