Pledoi Hasan Tiro Murizal Hamzah - Opini OKTOBER menjadi bulan ceria. Tahun lalu, Sabtu 11 Oktober 2008, perintis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Prof.Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, BA, MA, LLD, PhD menginjak kaki yang pertama di Aceh. Ini dilakukan setelah 29 tahun melanglang buana ke berbagai negara sejak meninggalkan Aceh (29 Maret 1979) melalui Jeunib Aceh Utara. Dari Kuala Jeunib, Wali - sapaan akrab Hasan Tiro - mengarungi Selat Malaka ke Singapore dengan kapal mesin bernama Teruna seluas 12 kaki x 6 kaki. Perjalanan tujuh hari dan tujuh malam ini dikawal oleh Panglima Atjeh Merdeka (AM) Daud Paneuk - Panglima AM pertama -dinakhodai oleh Abdullah Shaiman serta Yusuf Kumis. Di Singapore, Hasan Tiro dijemput oleh Amir Mahmud dan Malik Mahmud yang merupakan anggota kabinet AM. Kini rekonstruksi peristiwa itu dipentas lagi. Pada Sabtu (17/10/2009) , Wali melanjutkan titian muhibah kedua. Ada hasrat keluarga besar Hasan Tiro agar dia menetap di bumi leluhurnya daripada tinggal sendiri di kamar 0075 Apartemen Alby Blok 11 Norsborg Stockholm. Pria kelahiran 25 Septermber 1925 - merujuk kartu nomor induk warga Swedia 250925-7016 - memendam kerinduan mendalam pada bumi Chik di Tiro sehingga setahun kemudian mendarat lagi di Ranah Rencong. Senjata untuk Darul Islam Sejak belia hingga saat ini sudah berusia 80-an tahun lebih, Hasan Tiro menjadi tokoh fenomenal. Cacian dan pujian mengalir kepadanya yang tetap ceria di usia senja. Dari taburan fitnah hingga fakta yang disimpan erat-erat di bawah karpet merah karena ketakutan. Sebut saja tuduhan Hasan Tiro tidak membeli senjata untuk tentara Darul Islam pada tahun 1950-an. Benarkah demikian? Dua tahun lalu, saya bertemu Teungku Safari di Tiro Kabupaten Pidie yang merupakan salah satu dari 12 orang yang menyaksikan deklarasi ulang kemerdekaan Aceh pada Sabtu 4 Desember 1976. Safari merupakan mantan anggota Darul Islam yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Matanya melotot ketika saya mempertanyakan apakah Hasan Tiro mengirim senjata kepada orang Darul Islam? Suaranya meninggi memperlihatkan kegeraman. “Siapa bilang Wali tidak kirim senjata. Saya sendiri yang memikul senjata-senjata dari salah satu pelabuhan kecil di Aceh Besar,” tegasnya. Hasan kecil adalah patriot sejati Indonesia. Namun rotasi waktu seiring bertambah wawasan dan pengalaman, pemuda Hasan memutuskan Aceh harus mandiri dari Indonesia. Gejolak nasionalisme kedaerahan muncul, dan memuncak ketika puluhan tentara Indonesia menembak mati 99 warga sipil di Kampung Pulot, Cot Jeumpa Leupeung Aceh Besar pada 26 Februari 1955. Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat berontak, eksekusi massal yang dilakukan oleh Batalion B pimpinan Simbolon dan Batalion 142 pimpinan Mayor Sjuib merupakan bagian dari genosida. Tuntutan self determination (referendum) untuk Aceh diajukan kepada rezim Soekarno. Keberanian diplomat muda itu melancarkan protes berakibat paspornya dicabut. Namun Hasan Tiro tidak ditahan oleh imigrasi Amerika karena bisa membayar uang jaminan. Jauh dari Aceh semakin menambah rasa nasionalisme keacehan. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, pemuda lajang itu menuangkan pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi Untuk Indonesia”. Isi buku itu menawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia. Jadi sejak tahun 1950-an sudah tertanam benih-benih Aceh harus bebas dari penindasakan. Kristalisasi ini berbuah pada 4 Desember 1976. Syarief Thayeb beri visa Pergulatan pemikiran ini berakhir setelah Hasan memutuskan pulang ke Aceh meninggalkan kemewahan selama 25 tahun di New York. Dalam buku “The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Tiro (1981)” yang ditulis selama bergerilya di hutan-hutan dipaparkan. Hanya orang gila yang mau melakukan kerja ini. Dan itu semua terjawab pada 4 September 1976 ketika dia terbang dari Amerika- Tokyo- Hongkong dan Bangkok. Lalu dengan boat yang dinakhodai oleh orang Thailand, Hasan berlabuh Kuala Tari Pasi Lhok Pidie pada Sabtu, 30 Oktober 1976. Pertanyaan lain yang sering diajukan, apakah gebrakan AM didasari motif ekonomi? Dalam bahasa lain, apakah Wali mendirikan negara sambungan (Aceh) karena kalah tender di PT Arun Blang Lancang Aceh Utara? Dalam berbagai buah penanya diulas perjuangan ini merupakan tanggungjawab moril sebagai cicit dari Teungku Chik di Tiro dan tuntutan legalitas status Aceh. Hanya semangat dan cinta pada tanah leluhur itu yang membuat seseorang melakukan apa saja demi apa yang dicintainya. Mengutip buku Intel Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007) karya Ken Conboy pada halaman 176 perjalanan Hasan Tiro ke Aceh pada tahun 1974 diawali keputusannya menelepon Kedutaan Indonesia di Washington meminta visa kunjungan keluarga. Visa diberikan setelah Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) tidak mempersoalkan serta dukungan dari Dubes Indonesia untuk Amerika yakni Syarief Thayeb yang juga orang Aceh Timur. Hasilnya, Hasan disambut meriah di bandara Blang Bintang Banda Aceh serta dijamu oleh Gubernur Aceh Muzakkir Walad di Meuligoe Aceh. Pemerintah Aceh menyedikan mobil untuk melakukan lawatan sosial ini. Bagaimana dengan klaim GAM tidak beraroma Islam? Hal ini dibantah oleh Teungku Muhammad Amin kepada saya ketika di Pasi Lhok Simpang Tiga Pidie pada tahun 2007 lalu. Amin menuturkan dalam penjemputan pada malam hari yang dipimpin oleh Daud Paneuk, Wali menjadi iman shalat. Penulis mengamati surat yang diketik rapi dan ditulis tangan oleh Hasan Tiro yang menyelipkan ayat Quran, membubuhkan basmalah (tulisan Arab). Dalam surat bertanggal 11 November 1986, saya kutip penggalan kalimat berikut. Keu Njang Teugaseh Panglima Angkatan Darat Negara Islam Atjeh bak teumpat Assalamu alaikum w.w.: Secara terbuka, penyebutan Negara Islam Atjeh merupakan titik pijak dari keberadaan AM. Sedangkan untuk percaturan internasional, suami dari Doral ini mempopulerkan gelar Atjeh Sumatra Liberation Front (ASNLF) alias Front Pembebasan Aceh Sumatera. Mengapa harus mencantumkan kata Sumatera? Ini agar mata dunia lebih cepat mengetahui di mana posisi Aceh berada. Bukankah ini pledoi yang cerdas dalam sebuah pertempuran diplomasi? * Penulis adalah mentor untuk wartawan Time Timor Magazine, di Dili Timor Lest __._,_.___
Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong
Comments
Post a Comment
Please write you coment.