Skip to main content

Perjuangan Abu Cot Plieng

Tugu Cot Plieng, saksi sejarah melawan Jepang.

Monumen Cot Plieng, terletak di pinggir jalan negara Medan -Banda Aceh, sekitar 12 kilometer arah timur kota Lhokseumawe. Lokasi ini termasuk dalam wilayah Kec. Syamtalira Bayu, Aceh Utara.

Di sini, dulu terjadi peristiwa heroik para ulama Aceh Ut ara, menentang kerjasama dengan Jepang, sampai-sampai lahirnya semboyan. "Talet bui, tapeutamong asei." (Bahasa daerah Aceh-red). Artinya, mengusir babi, menerima anjing. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, Waspada menjadikan nara sumber Prof. A. Hasjimy (almarhum), sesuai buku "Semangat Merdeka" yang sejarah ini disusun beliau semasa hayatnya.

Secara umum, ketika itu ulama di Aceh terbagi dalam dua komponen. Pertama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang disebut dengan ulama muda, sedang komponen kedua. Yaitu, ulama non PUSA yang disebut dengan ulama tua (Abu) yang kesemuanya pimpinan dayah/pesantren. Ulama muda melawan Jepang dengan politik, sementara ulama tua melawan Jepang, dengan oposisi keras atau perlawanan bersenjata yang cukup memusingkan Jepang untuk menghadapinya.

Reaksi ulama tua ini sangat membantu perjuangan politik ulama muda (PUSA), dalam rangka mendesak Jepang agar memberi kesempatan yang luas kepada para ulama untuk duduk seiring di dalam pemerintahan. Ini siasat (politik), atau langkah awal ke arah perebutan Indonesia ini dari tangan penjajah.

Perjuangan PUSA berhasil, dengan uluran Jepang memberi hak kepada ulama untuk membentuk Mahkamah Syariah seluruh Aceh, termasuk personil Pengadilan Negeri (PN) diisi para ulama. Juga para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam, diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketenteraman Gyugun dan Tokubetsu.

Ulama tua di Aceh Ut ara yang terkenal namanya, Tgk.Abdul Jalil, asal Buloh Blang Ara, sangat agresif melawan Jepang. Ia (ulama kharismatik) jebolan beberapa dayah terkenal di Aceh, lalu pulang ked ayah Cot Plieng (Bayu) pimpinan Tgk. Ahmad yang akhirnya kawin dengan salah seorang putri Tgk. Ahmad (Tgk. Asiah), sekaligus pimpinan dayah ini diserahkan kepada Tgk. Abdul Jalil, dengan panggilan akrab Tgk. Chik.

Tgk. Abdul Jalil dan kawan-kawan secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang, dengan seruan jihad fisabilillah dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh Utara. Akhir tahun 1942 dakwah diam-diam itu berubah jadi terang-terangan. Dakwah ini cepat tersulut, karena sikap Jepang yang kejam, kasar dan biadab turun perintah kirei (hormat) kepada Tenno Haika dengan menghadap ke timur.

Semangat jihad yang sudah mengkristal ini diketahui oleh intelijen Jepang, lalu merekapun berupaya untuk memadamkan api lewat Hulubalang (Ampon-ampon), aparat mereka dari jenis suku Aceh, disebut Gunco (wedana) dan Sonco (camat). Jepang pun dengan akal bulusnya membujuk ulama muda dari organisasi PUSA untuk melakukan dakwah tandingan, melawan dakwah Tgk.Abdul Jalil, tapi PUSA dengan berbagai siasat menolak.

Gagalnya upaya ampon-ampon (Hulubalang) untuk membujuk Tgk. Abdul Jalil, akhirnya Jepang mengambil keputusan untuk menumpas Tgk. Abdul Jalil bersama para pengikutnya, dengan cara mengirim pasukan militer Jepang dalam jumlah besar ke Bayu, 6 November 1942 sekaligus kubu pertahanan, mengepung dayah Cot Plieng. Singkat cerita, pertempuran sengit terjadi hari itu sampai pada sore hari Tgk. Abdul Jalil bersama pengikutnya menyingkir ke pedalaman.

Dalam perjalanan mundur sambil menyusun kekuatan, ulama besar ini singgah di Meunasah Baro, berhenti di Desa Alue Badee. Jumat, 9 November 1942 (tiga hari kemudian), Tgk. Abdul Jalil turun ke Desa Meunasah Blang Buloh, 10 kilometer dari Bay u untuk melaksanakan shalat Jumat.

Di sinilah terjadi pertempuran cukup dahsyat (usai shalat Jumat), sampai terjadi satu lawan satu dengan pedang dan rencong. Demikian pula Jepang, melawan Teungku dengan senjata tajam, karena semangat para pahlawan ulama cukup membara dan meradang menerjang dengan pekikan Allahu Akbar, sehingga Jepang tidak mungkin lagi menggunakan senjata api.

Pada pertempuran ini, sekitar 109 orang mujahid Aceh syahid. Juga di pihak Jepang, tidak kurang pula dari angka tersebut karena pertempuran heroik satu lawan satu, dengan logikanya, seberapa pahlawan Aceh yang syahid demikian juga serdadu Jepang yang mati.

Tgk. Abdul Jalil ikut syahid dalam pertempuran ini, dengan rekan-rekan lainnya yang terkenal dalam catatan sejarah, antara lain Tgk. Muhammad Hanafiah, Tgk. Muhammad Abbas Punteuet, Tgk. Badai, Tgk. Bidin, Tgk. Husen Hasyem, Tgk. Muda Yusuf dan Tgk. Nyak Mirah.

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

PANGLIMA ISHAK DAUD DIMATA SAYA

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh. Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh. Teungku Ishak Daud, Panglima GAM Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.