Banyak manusia yang menyangka bahwa dunia
merupakan tempat yang final dan menentukan.
Menang di dunia dianggapnya sebagai suatu
perkara yang mesti dan harus. Sebab jika tidak
menang di dunia lalu mau menang di mana
lagi? Demikian pula sebaliknya, kalah di dunia
merupakan suatu kehinaan yang bagaimanapun
caranya harus dihindari. Sebab menurutnya
mana mungkin seseorang masih bisa
mengangkat kepalanya bila ia harus hidup di
dunia dengan status sebagai pecundang. Itulah
anggapan yang begitu terpateri di benak fikiran
setiap orang yang menjadi hamba dunia.
Ketika sahabat Rib’iy bin Amer radhiyallahu
’anhu ditugaskan untuk bernegosiasi dengan
panglima militer Persia, Rustum, ia menjelaskan
misi diutusnya ummat Islam oleh Allah
subhaanahu wa ta ’aala ke muka bumi. Salah
satu misi tersebut dijelaskan olehnya sebagai
berikut:
انثعتبا هللا جرخنل سانلا نم قيض ايندلا
ىلإ تعس ايندلا و ةرخآلا
”Kami (ummat Islam) diutus Allah ta’aala ke
muka bumi untuk mengeluarkan manusia dari
sempitnya dunia menuju lapangnya dunia dan
akhirat. ”
Inilah salah satu misi utama ajaran Islam.
Melahirkan manusia beriman yang keyakinan
dan penghayatannya akan negeri akhirat
sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak
pernah terkurung di dalam keterbatasan dunia
yang sempit. Orang beriman selalu hidup
dengan hati yang lapang sebab mereka tidak
mudah terseret oleh tipuan kesenangan
(maupun kesengsaraan) dunia yang fana.
Seberapa nikmatnya kesenangan dunia, maka
bagi seorang mu ’min tidak bisa menandingi
apalagi melebihi kebahagiaan hakiki di surga
akhirat kelak. Demikian pula, sedahsyat apapun
kesengsaraan di dunia, maka bagi orang
beriman hal itu tidak bisa menandingi apalagi
melebihi penderitaan sejati di neraka akhirat
kelak nanti.
Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering
melihat begitu banyak manusia yang
menyangka bahwa dunia sedemikian hakikinya
sehingga mereka rela melakukan dan
mengorbankan apapun hanya untuk meraih
kesenangan fana dunia. Begitu pula mereka
akan rela berbuat dan meyerahkan apapun
demi terbebaskan dari penderitaan sementara
dunia ini. Dan itu semua dilakukan dengan
mempertaruhkan kemungkinan meraih
kesenangan hakiki surga akhirat dan dengan
kemungkinan malah berujung di kesengsaraan
sejati neraka akhirat.
Tidak banyak manusia yang rela bersabar
kehilangan surga dunia demi meraih surga
akhirat. Tidak banyak orang yang rela
menghadapi neraka dunia demi terbebaskan
dari neraka akhirat. Hal ini cuma menunjukkan
betapa tidak sabarnya manusia. Dan hal ini juga
menunjukkan betapa mudahnya manusia
terjebak dengan hal-hal yang zahir dari
kehidupan dunia ini dan mereka tidak cukup
tajam penglihatannya untuk mamandang hal-
hal ghaib dari kehidupan akhirat.
َنوُمَلْعَي اًرِهاَظ َنِم ِةاَيَحْلا
اَيْنُّدلا ْمُهَو ِنَع ِةَرِخَآْلا
ْمُه َنوُلِفاَغ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai. ” (QS ArRuum
ayat 7)
Para ahlud-dunya atau pencinta dunia memang
merupakan kaum materialis. Mereka hanya
sibuk tenggelam dalam hal-hal yang material
semata. Mereka tidak pernah mau tahu dengan
hal-hal yang bersifat ”behind the material”.
Sebab mereka tidak sanggup menjangkaunya.
Dan ketidak-sanggupan itu disebabkan oleh
tidak hadirnya al-iman di dalam dadanya.
Orang beriman tentunya ingin berhasil juga di
dunia. Tetapi doanya dan harapannya kepada
Allah ta ’aala tidak pernah berhenti hanya pada
hal-hal sebatas dunia. Mereka selalu
mengharapkan akhirat bersamaan dengan
harapannya akan dunia.
ْمُهْنِمَو ْنَم ُلوُقَي اَنَّبَر
اَنِتَآ يِف اَيْنُّدلا ًةَنَسَح يِفَو
ِةَرِخَآْلا ًةَنَسَح اَنِقَو َباَذَع
ِراَّنلا
”Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a,
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka. "” (QS Al-Baqarah ayat 201)
Singkat kata, seorang mu’min adalah manusia
yang lebih memilih menderita di dunia asal
senang di akhirat. Sedangkan seorang kafir atau
munafik lebih memilih sukses di dunia walau
harus berakibat masuk neraka di akhirat kelak.
Seorang mu ’min berprinsip: ”Lebih baik susah
sekarang asal senang belakangan.” Sedangkan
seorang kafir atau munafik berprinsip: ”Yang
penting kita harus senang selagi bisa. Soal
neraka, yah, belum tentu juga benar-benar
ada. ”
Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam
mengingatkan kita ummat Islam agar jangan
hendaknya tertipu oleh dunia. Hendaknya selalu
sadar bahwa hakikat senang dan susah adalah
di akhirat bukan di dunia. Senang di dunia tidak
perlu membuat kita lupa. Susah di dunia tidak
perlu membuat kita berputus asa.
Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam
menyampaikan suatu hadits yang
menggambarkan salah satu episode di hari
pengadilan kelak nanti. Penggambaran yang
menjelaskan betapa kesenangan surga sejenak
cukup membuat orang yang paling menderita
sewaktu di dunia lupa samasekali akan
penderitaannya. Sedangkan kesengsaraan
neraka walau sekejap cukup untuk menjadikan
orang yang paling nikmat sewaktu hidup di
dunia tidak ingat lagi akan semua
kesenangannya.
اَنَثَّدَح وٌرْمَع ُدِقاَّنلا
اَنَثَّدَح ُديِزَي ُنْب َنوُراَه
اَنَرَبْخَأ ُداَّمَح ُنْب َةَمَلَس
ْنَع ٍتِباَث ِّيِناَنُبْلا ْنَع ِسَنَأ
ِنْب ٍكِلاَم َلاَق َلاَق ُلوُسَر
ِهَّللا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع
َمَّلَسَو ىَتْؤُي ِمَعْنَأِب ِلْهَأ
اَيْنُّدلا ْنِم ِلْهَأ ِراَّنلا َمْوَي
ِةَماَيِقْلا ُغَبْصُيَف يِف ِراَّنلا
ًةَغْبَص َّمُث ُلاَقُي اَي َنْبا َمَدآ
ْلَه َتْيَأَر اًرْيَخ ُّطَق ْلَه َّرَم
َكِب ٌميِعَن ُّطَق ُلوُقَيَف اَل
ِهَّللاَو اَي ِّبَر ىَتْؤُيَو
ِّدَشَأِب ِساَّنلا اًسْؤُب يِف
اَيْنُّدلا ْنِم ِلْهَأ ِةَّنَجْلا
ُغَبْصُيَف ًةَغْبَص يِف ِةَّنَجْلا
ُلاَقُيَف ُهَل اَي َنْبا َمَدآ ْلَه
َتْيَأَر اًسْؤُب ُّطَق ْلَه َّرَم َكِب
ٌةَّدِش ُّطَق ُلوُقَيَف اَل ِهَّللاَو
اَي ِّبَر اَم َّرَم يِب ٌسْؤُب ُّطَق
اَلَو ُتْيَأَر ًةَّدِش ُّطَق
“Pada hari kiamat didatangkan orang yang
paling nikmat hidupnya sewaktu di dunia dari
penghuni neraka. Lalu ia dicelupkan ke dalam
neraka sejenak. Kemudian ia ditanya: ”Hai anak
Adam, pernahkah kamu melihat suatu kebaikan,
pernahkah kamu merasakan suatu
kenikmatan ?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi
Allah, ya Rabb.” Dan didatangkan orang yang
paling menderita sewaktu hidup di dunia dari
penghuni surga. Lalu ia dicelupkan ke dalam
surga sejenak. Kemudian ditanya: ”Hai anak
Adam, pernahkah kamu melihat suatu kesulitan,
pernahkah kamu merasakan suatu
kesengsaraan ?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi
Allah, ya Rabb. Aku tidak pernah merasakan
kesulitan apapun dan aku tidak pernah melihat
kesengsaraan apapun. ” (HR Muslim 5018)
merupakan tempat yang final dan menentukan.
Menang di dunia dianggapnya sebagai suatu
perkara yang mesti dan harus. Sebab jika tidak
menang di dunia lalu mau menang di mana
lagi? Demikian pula sebaliknya, kalah di dunia
merupakan suatu kehinaan yang bagaimanapun
caranya harus dihindari. Sebab menurutnya
mana mungkin seseorang masih bisa
mengangkat kepalanya bila ia harus hidup di
dunia dengan status sebagai pecundang. Itulah
anggapan yang begitu terpateri di benak fikiran
setiap orang yang menjadi hamba dunia.
Ketika sahabat Rib’iy bin Amer radhiyallahu
’anhu ditugaskan untuk bernegosiasi dengan
panglima militer Persia, Rustum, ia menjelaskan
misi diutusnya ummat Islam oleh Allah
subhaanahu wa ta ’aala ke muka bumi. Salah
satu misi tersebut dijelaskan olehnya sebagai
berikut:
انثعتبا هللا جرخنل سانلا نم قيض ايندلا
ىلإ تعس ايندلا و ةرخآلا
”Kami (ummat Islam) diutus Allah ta’aala ke
muka bumi untuk mengeluarkan manusia dari
sempitnya dunia menuju lapangnya dunia dan
akhirat. ”
Inilah salah satu misi utama ajaran Islam.
Melahirkan manusia beriman yang keyakinan
dan penghayatannya akan negeri akhirat
sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak
pernah terkurung di dalam keterbatasan dunia
yang sempit. Orang beriman selalu hidup
dengan hati yang lapang sebab mereka tidak
mudah terseret oleh tipuan kesenangan
(maupun kesengsaraan) dunia yang fana.
Seberapa nikmatnya kesenangan dunia, maka
bagi seorang mu ’min tidak bisa menandingi
apalagi melebihi kebahagiaan hakiki di surga
akhirat kelak. Demikian pula, sedahsyat apapun
kesengsaraan di dunia, maka bagi orang
beriman hal itu tidak bisa menandingi apalagi
melebihi penderitaan sejati di neraka akhirat
kelak nanti.
Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering
melihat begitu banyak manusia yang
menyangka bahwa dunia sedemikian hakikinya
sehingga mereka rela melakukan dan
mengorbankan apapun hanya untuk meraih
kesenangan fana dunia. Begitu pula mereka
akan rela berbuat dan meyerahkan apapun
demi terbebaskan dari penderitaan sementara
dunia ini. Dan itu semua dilakukan dengan
mempertaruhkan kemungkinan meraih
kesenangan hakiki surga akhirat dan dengan
kemungkinan malah berujung di kesengsaraan
sejati neraka akhirat.
Tidak banyak manusia yang rela bersabar
kehilangan surga dunia demi meraih surga
akhirat. Tidak banyak orang yang rela
menghadapi neraka dunia demi terbebaskan
dari neraka akhirat. Hal ini cuma menunjukkan
betapa tidak sabarnya manusia. Dan hal ini juga
menunjukkan betapa mudahnya manusia
terjebak dengan hal-hal yang zahir dari
kehidupan dunia ini dan mereka tidak cukup
tajam penglihatannya untuk mamandang hal-
hal ghaib dari kehidupan akhirat.
َنوُمَلْعَي اًرِهاَظ َنِم ِةاَيَحْلا
اَيْنُّدلا ْمُهَو ِنَع ِةَرِخَآْلا
ْمُه َنوُلِفاَغ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai. ” (QS ArRuum
ayat 7)
Para ahlud-dunya atau pencinta dunia memang
merupakan kaum materialis. Mereka hanya
sibuk tenggelam dalam hal-hal yang material
semata. Mereka tidak pernah mau tahu dengan
hal-hal yang bersifat ”behind the material”.
Sebab mereka tidak sanggup menjangkaunya.
Dan ketidak-sanggupan itu disebabkan oleh
tidak hadirnya al-iman di dalam dadanya.
Orang beriman tentunya ingin berhasil juga di
dunia. Tetapi doanya dan harapannya kepada
Allah ta ’aala tidak pernah berhenti hanya pada
hal-hal sebatas dunia. Mereka selalu
mengharapkan akhirat bersamaan dengan
harapannya akan dunia.
ْمُهْنِمَو ْنَم ُلوُقَي اَنَّبَر
اَنِتَآ يِف اَيْنُّدلا ًةَنَسَح يِفَو
ِةَرِخَآْلا ًةَنَسَح اَنِقَو َباَذَع
ِراَّنلا
”Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a,
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka. "” (QS Al-Baqarah ayat 201)
Singkat kata, seorang mu’min adalah manusia
yang lebih memilih menderita di dunia asal
senang di akhirat. Sedangkan seorang kafir atau
munafik lebih memilih sukses di dunia walau
harus berakibat masuk neraka di akhirat kelak.
Seorang mu ’min berprinsip: ”Lebih baik susah
sekarang asal senang belakangan.” Sedangkan
seorang kafir atau munafik berprinsip: ”Yang
penting kita harus senang selagi bisa. Soal
neraka, yah, belum tentu juga benar-benar
ada. ”
Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam
mengingatkan kita ummat Islam agar jangan
hendaknya tertipu oleh dunia. Hendaknya selalu
sadar bahwa hakikat senang dan susah adalah
di akhirat bukan di dunia. Senang di dunia tidak
perlu membuat kita lupa. Susah di dunia tidak
perlu membuat kita berputus asa.
Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam
menyampaikan suatu hadits yang
menggambarkan salah satu episode di hari
pengadilan kelak nanti. Penggambaran yang
menjelaskan betapa kesenangan surga sejenak
cukup membuat orang yang paling menderita
sewaktu di dunia lupa samasekali akan
penderitaannya. Sedangkan kesengsaraan
neraka walau sekejap cukup untuk menjadikan
orang yang paling nikmat sewaktu hidup di
dunia tidak ingat lagi akan semua
kesenangannya.
اَنَثَّدَح وٌرْمَع ُدِقاَّنلا
اَنَثَّدَح ُديِزَي ُنْب َنوُراَه
اَنَرَبْخَأ ُداَّمَح ُنْب َةَمَلَس
ْنَع ٍتِباَث ِّيِناَنُبْلا ْنَع ِسَنَأ
ِنْب ٍكِلاَم َلاَق َلاَق ُلوُسَر
ِهَّللا ىَّلَص ُهَّللا ِهْيَلَع
َمَّلَسَو ىَتْؤُي ِمَعْنَأِب ِلْهَأ
اَيْنُّدلا ْنِم ِلْهَأ ِراَّنلا َمْوَي
ِةَماَيِقْلا ُغَبْصُيَف يِف ِراَّنلا
ًةَغْبَص َّمُث ُلاَقُي اَي َنْبا َمَدآ
ْلَه َتْيَأَر اًرْيَخ ُّطَق ْلَه َّرَم
َكِب ٌميِعَن ُّطَق ُلوُقَيَف اَل
ِهَّللاَو اَي ِّبَر ىَتْؤُيَو
ِّدَشَأِب ِساَّنلا اًسْؤُب يِف
اَيْنُّدلا ْنِم ِلْهَأ ِةَّنَجْلا
ُغَبْصُيَف ًةَغْبَص يِف ِةَّنَجْلا
ُلاَقُيَف ُهَل اَي َنْبا َمَدآ ْلَه
َتْيَأَر اًسْؤُب ُّطَق ْلَه َّرَم َكِب
ٌةَّدِش ُّطَق ُلوُقَيَف اَل ِهَّللاَو
اَي ِّبَر اَم َّرَم يِب ٌسْؤُب ُّطَق
اَلَو ُتْيَأَر ًةَّدِش ُّطَق
“Pada hari kiamat didatangkan orang yang
paling nikmat hidupnya sewaktu di dunia dari
penghuni neraka. Lalu ia dicelupkan ke dalam
neraka sejenak. Kemudian ia ditanya: ”Hai anak
Adam, pernahkah kamu melihat suatu kebaikan,
pernahkah kamu merasakan suatu
kenikmatan ?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi
Allah, ya Rabb.” Dan didatangkan orang yang
paling menderita sewaktu hidup di dunia dari
penghuni surga. Lalu ia dicelupkan ke dalam
surga sejenak. Kemudian ditanya: ”Hai anak
Adam, pernahkah kamu melihat suatu kesulitan,
pernahkah kamu merasakan suatu
kesengsaraan ?” Maka ia menjawab: ”Tidak, demi
Allah, ya Rabb. Aku tidak pernah merasakan
kesulitan apapun dan aku tidak pernah melihat
kesengsaraan apapun. ” (HR Muslim 5018)
Comments
Post a Comment
Please write you coment.