Skip to main content

Ampon....!!!! Bunuhlah Aku....

KISAH tentang ksatria orang Aceh tak pernah habis. Apalagi penggalan demi penggalan pertarungan pejuang Aceh melawan serdadu Belanda. Di antara pelajaran penting dalam memahami kisah pertarungan tersebut, ketika pejuang Aceh memperlakukan musuh yang saat itu tidak lagi memegang senjata. “Tak boleh menganiaya musuh (ilanya) jika sudah kalah”. Filosofi itu dapat kita petik dari kisah duel pedang Teuku Abeuk dengan seorang pasukan elit Belanda, Letnan Infantri J.H.J. Brendgen. Kisah patriotik ini terjadi ketika Belanda menaklukkan Aceh. Seorang tokoh masyarakat, Teuku Abeuk yang berasal dari Pameu di Aceh Tengah, senantiasa membantu kelompok mujahid Aceh pada tahun 1920-an. Belanda punya keinginan untuk “memanfaatkan” Abeuk untuk melancarkan pengaruh Belanda. Maka politik devide et impera alias alias “adudomba” dilancarkan. Kisah ini, diungkap dalam buku Ungkapan Peribahasa Aceh Dari Sabda Leluhur (2006) yang ditulis oleh Ramli Dali yang menguraikan pengalaman Teuku Abeuk.Dikisahkan Teuku Abeuk selalu memberikan makanan kepada setiap tamu, termasuk kepada pejuang Aceh. Ketika Belanda mengintegorasi Teuku Abeuk mengapa Ampon (panggilan bangsawan) membantu muslimin dengan memberi makan? Teuku Abeuk menjawab “Tuan harus mengerti, di Aceh tak seorang pun tamu keluar dari rumah dengan perut lapar. Itu adat Aceh. Saya wajib menghormati tamu dengan menyuguhkan nasi,” jawaban ini menyiratkan adat Aceh mampu “menyelamatkan” posisi Teuku Abeuk.
Namun, ketika konflik Aceh beberapa saat yang lalu, tradisi menyuguhkan makan kepada tamu oleh rakyat Aceh, walaupun sepiring nasi dan segelas air minum, kadang kadang berakhir dengan penyiksaan bahkan nyawa pun meregang kalau ketahuan tamu tersebut terlibat dalam gerakan apa yang disebut “separatis”.

Ketika Teuku Abeuk di introgasi Belanda dia selalu punya alasan yang kuat. Alasan Teuku Abeuk tidak bisa dipatahkan, mengingat kolonial Belanda menghormati adat istiadat Aceh. Ini terbukti ketika penjajah Belanda bisa bertahan berdiri dan tegak karena mereka menjunjung dan melegitimasi peran dan hak hak kepala kepala adat di Aceh. Kebijakan ini dilakukan melalui Korte Verklaling. Merekamemakzulkan peran Sultan bahkan membuangnya keluar Aceh.

Teuku Abeuk sering memberi bekal kepada pejuang yang melalui wilayahnya. Aktivitas Teuku Abeuk ini diketahui oleh Belanda melalui cuwak-nya alias mata-matanya. Dalam penyelidikan Belanda lagi-lagi Teuku Abeuk beralasan “Tuan mesti tahu, di negeri kami, para musafir kami ukur jarak dan lamanya berpergian. Saya tidak boleh bertanya apa dia seorang muslimin (pemberontak), atau bukan. Tetapi sebagai orang beradab, saya wajib memberi bekal bukan? Jawaban Teuku Abeuk ini sangat menjengkelkan Belanda (Aboepriadi Santoso, Tempo, 23 Oktober 2005). Jawaban santun ini membuat Belanda serba salah, sebab apa yang dijawab oleh Teuku Abeuk sangat diplomatis dan strategis. Dia paham jika salah menjawab, maka bayonet Marsose menancap di kepalanya.

Akhirnya karena kelihaian Teuku Abeuk menjawab setiap interogasi, maka Belanda mengatur siasat melumpuhkannya. Untuk tujuan ini, Belanda memilih salah satu prajurit yang handal yakni Letnan Infantri J.H. J. Brendgen. Brendgen menyiapkan tugas dengan seksama dengan belajar ilmu pedang ke Bandung dan Magelang. Setelah dianggap “alim” dalam ilmu beladiri, dia kembali ke Aceh dan langsung mengundang Teuku Abeuk untuk beradu tangkas, bermain pedang dan siapa yang kalah akan mati. Belanda menerapkan perang klasik yaitu satu lawan satu.

Teuku Abeuk menyatakan siap menerima tantangan ini. Orang Aceh pantang menolak tantangan. Dia meminta rakyat dikehubalangannya menyiapkan khanduri besar menyambut pesta ini. Teuku Abeuk tahu kalau ini hanya taktik Belanda untuk menghabisinya. Dia pun mengatur strategi yang lebih lihai dari penjajah. Kepada pejuang Aceh dia memberi makan secara diam-diam, maka kepada musuh, dia memberikan makan secara pesta. Rakyat pun tahu bahwa akan terjadi peristiwa besar di wilayah Teuku Abeuk.

Pada hari yang telah ditentukan, laga ujung pedang pun berdesing. Brendgen sangat terpukau melihat kemampuan dan talenta Teuku Abeuk mengayunkan pedang. Akhirnya pedang Brendgen terpelanting dan mengaku kalah.
“Ampon!Bunuhlah aku,” teriak Brendgen. Namun Abeuk menjawab “Ambil pedangmu, Brendgen” serunya. Setelah beberapa kali Teuku Abeuk meminta Brendgen mengambil pedangnya, tetapi tidak dilakukan oleh Brendgen, maka Teuku Abeuk menyalaminya dan berucap ,”Aku tidak mungkin membunuh tuan, karena tuan tak mau ambil pedang.” Adat dan budaya Aceh tidak boleh menghukum orang yang tidak bersenjata dan lemah. Dengan kata lain, tidak ada istilah “ilanya” musuh tak berdaya.

Sebagai akhir dari duel tersebut, permusuhan beralih ke perdamaian. Lagi-lagi Teuku Abeuk menunjukkan kebesaran budaya Aceh dengan mengajak musuh ini makan khanduri bersama. Brendgen yang pensiun pada tahun 1950-an dengan pangkat colonel sering mengunjungi Aceh sebelum mengakiri hayatnya pada tahun 1980-an. Karena mengingat peristiwa ini dan kesetiaan pada Aceh sampai akhir hayatnya Gubernur Aceh Muzakkir Walad memanggilnya Vrien van Atjeh “ (Sahabat Aceh) dan kalimat ini terpahat di gerbang Kerkhof.

Sang Kolonel itu ke mana pun pergi selalu menceritakan kepahlawanan dan sikap orang Aceh yangsangat sportif seperti yang diperankan oleh Teuku Abeuk. Berani bertarung di medan laga dan tidak mengalahkan pada saat tidak berdaya.
Fakta pertarungan satu lawan satu antara pejuang Aceh dengan penjajah Belanda menarik disimak hingga detik ini dan di masa mendatang. Pola yang dimainkan oleh Teuku Abeuk ini pernah dilakukan oleh Jusuf Kalla, ketika makan satu meja dengan anggota GAM. Di sampingnya ada juga pola yang dilakukan oleh Bambang Dharmono ketika maka bersama dengan William Nessen.

Makan adalah simbol persaudaraan dan perkawanan. Semua acara di Aceh, baik acara hidup dan kematian, selalu ditutup oleh makan dan berdoa bersama. Namun, dengan makan pula tidak sedikit pejuang Aceh yang diracuni seperti Teungku Chik di Tiro di Aceh Besar. Hingga kini, pun membumbuhi racun dalam arti kiasan pun masih terus marak dilakukan untuk menguasai serta mempertahankan harta, tahta dan wanita. Inilah pentas panggung sandiwara dan hanya dengan ilmu dan amal, manusia bisa selamat dari racun-racun dunia itu.

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

PANGLIMA ISHAK DAUD DIMATA SAYA

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh. Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh. Teungku Ishak Daud, Panglima GAM Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.