Jejak Aceh di Tanah Arab
Catatan M Adli Abdullah
Di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir
apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa
sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia
dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah
hampir semua negara yang saya kunjungi, nama
Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai
bagian dari peradaban dunia...
MENJELANG bulan Ramadan ini, tepatnya tanggal
18 Agustus saya melakukan ibadah umrah
bersama-sama dengan beberapa kerabat di
Banda Aceh. Sebagai bagian dari rombongan
yang dikoordinasikan oleh Ce’Man Tour and
Travel, saya memiliki beberapa refleksi mengenai
bagaimana sesungguhnya hubungan Arab dan
Aceh. Dalam laposan singkat ini, saya ingin
menjelaskan bagaimana hubungan kedua negeri
ini, hingga saya sendiri tidak pernah menduga
betapa beruntungnya menjadi orang Aceh di
tanah Suci ini. Ketika tiba di Jeddah, jam 17.55
waktu Saudi (21.55 wib), karena prosedur yang
agak ketat yang baru diberlakukan awal Agustus
tahun ini. Peraturan tersebut adalah seluruh
pengunjung yang masuk ke Saudi diwajibkan
sekarang ini diambil sidik jari, dan di photo satu
persatu. Namun, prosedur ketat ini tidak dibarengi
dengan penambahan karyawan imigrasi. Sambil
menunggu dan duduk duduk dilantai saya
mencoba membersihkan jenggot dan kumis
saya. Rupanya tindakan ini mengundang
kecuriagaan dari peugas imigrasi lebih ketat lagi.
Lalu, dengan bahasa Arab terbata bata, saya
jelaskan bahwa saya cukur jenggot sambil
mengisi waktu kosong, karena lamanya
menunggu di Imigrasi. Pegawai imigrasi
menanyakan asal saya, kemudian saya
menjawab :”Asyi”, sebuah sebutan marga Aceh
dikalangan orang Arab.
Rupanya pegawai imigrasi mengetahui bawah
Aceh itu ada di Indonesia. Alhasil, saya
diperkenankan untuk masuk ke Arab Saudi.
Rombongan kami dijemput oleh Tengku
Sulaiman Al Asyi (warga Arab Saudi keturunan
Aceh). Sambil makan saya bertanya kepada
Tengku Anwar Fuadi Abdussalam Asyi tentang
sikap marahnya pegawai imigrasi terhadap
jenggot yang saya cukur tadi. Begitu saya
menyebutkan nama Asyi, para petugas tersebut
kembali ramah. Menurut Tgk Anwar Fuadi orang
Arab suka sekali melihat orang memelihara
jenggot dan itu salah satu bentuk pelaksanaan
syari‘at Islam.
Sedangkan sebutan negeri Aceh adalah tidak
asing bagi sebagian orang Arab walaupun
sekarang hanya salah satu propinsi di Indonesia
karena banyak sekali orang Arab keturunan Aceh
mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi
Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi
mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah,
Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan
Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil
Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta
wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.
Mendengar penjelasan Tgk Haji Anwar Fuadi
Salam Asyi tambah menarik penulis untuk
menelusuri jejak Aceh di Tanah Arab ini sambil
beribadah umrah kali ini. Jadi gelar Asyi ini adalah
merupakan sebuah pengakuan identitas orang
Aceh di Arab Saudi yang sangat terhormat,
sehingga gelar al-Asyi ini kemudian bisa dikatakan
sebagai salah satu marga yang wujud di tanah
Arab.
Karena itu, saya memandang bahwa martabat
orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa.
Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak,
namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada
kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa
ada hubungan yang cukup kuat secara emosional
antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu
Aceh.
Setelah selesai makan, kami berangkat menujuh
Medinah menempuh waktu 4.30 menit. Sewaktu
melintasi kota Jeddah penulis sempat teringat
pada kisah Habib Abdurrahman Azzahir, perdana
menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan
Aceh pada masa perang Aceh dengan Belanda
kemudian meninggal di Jeddah pada tahun 1896
M. Habib yang menyerah pada Belanda pada
tahun 1877 M. tiga tahun setelah perang Aceh
Belanda meletus yang di mulai pada 26 Maret
1873, dia mengasingkan diri ke Jeddah serta
mendapat pensiun 10.000 US dolar perbulan.
Berkhianatnya Habib kepada Kerajaan Aceh dan
memihak Belanda menjadi berita besar pada saat
itu. Mayor Macleod, yang ditugas mengantar
Habib ke Jeddah sempat memplesetkan lagu
“Faldera dera” yang sangat terkenal di kalangan
orang Belanda saat itu, diplesetkan menjadi:
Nun di sana terapung istana samudra
Namanya Cuaracao
Habib yang berani akan dibawa
Ke Mekkah tujuan nyata
Kini ia berdendang riang faldera dera
Untuk gubernemen kita
Banyaknya sekian ribuan dolar sebulan
Tidak cerdikkah saya?
Snouck Hurgronje dalam bukunya Nasihat-
Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa
Kepegawaiannya (1990) mengakui bahwa dia
banyak dibantu Habib selama Snouck bermukim
di tanah Arab pada tahun 1884. Perjumpaannya
dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir sering
dilakukan di Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah.
Menurut Snouck Hurgronje bahwa dia sering
berjumpa dan bertukar pikiran dan belajar
masalah Aceh dengan Habib Abdurrahman Az
Zahir. Bahkan pada tanggal 26 Juli 1888 Snouck
sempat menyampaikan isi nota pribadi Habib
kepada Menteri Daerah Jajahan Pemerintah
Belanda Mr L.W.C. Keuchenius tentang konsep
perdamaian negeri Aceh yang memintanya
diangkat menjadi Wali negeri Aceh untuk urusan
Islam dan tetap taat kepada pemerintah Belanda.
Agaknya inilah yang menyebabkan saya terusik
apa sebenarnya peran Syaikh ini dan bagaimana
pengaruhnya terhadap pola penjajahan di Aceh
yang dilakukan oleh Belanda saat ini. Dalam
perjalanan ke Mekkah, saya sempat berdiskusi
dengan Tgk Anwar Fuadi Salam al-Asyi tentang
banyak nya harta orang Aceh di Saudi Arabia
yang merupakan wakaf. Pada tahun 1996 Tengku
Anwar sendiri telah menulis buku Harta Wakaf
Aceh. Menurutnya di Saudi banyak sekali harta
wakaf Aceh baik yang sudah dikenali maupun
yang belum dikenali. Wakaf tersebut ada yang
berbentuk wakaf umum untuk jamaah haji asal
Aceh atau orang yang menimba ilmu disana ada
juga yang wakaf khusus untuk keturunannya
yang datang ke Arab baik menunaikan ibadah haji
maupun menuntut ilmu. Jadi hubungan keilmuan
inilah yang menyebabkan bagaimana hubungan
Haramayn (Mekkah dan Madina) dengan Aceh,
yang pada urutannya menyebabkan munculnya
gelombang reformasi Islâm di Nusantara yang
dipelopori oleh ulama Aceh yang pernah berdiam
di Arab Saudi.
Sebagai contoh wakaf umum katanya wakaf
habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim
Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18
Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia
menyatakan keinginannya untuk mewakafkan
sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat
di atasnya dengan syarat; rumah tersebut
dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh
yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji
dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh
yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena
sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang
datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah
wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para
pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang
belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu
sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada
lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini
digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa
Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya
mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini
diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk
membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf
habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang
hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah
haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial
per jamaah. Namun ada juga wakaf-wakaf
lainnya seperti wakaf Syech Muhammad Saleh
Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no
324) di Qassasyiah, Wakaf Sulaiman bin Abdullah
Asyi di Suqullail (pasar Seng), wakaf Muhammad
Abid Asyi, Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di
Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di
Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan
Hayyi al Hijrah Mekkah , Rumah Wakaf di
kawasan hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah
Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah. Ada juga
wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal,
dikawasan Gazzah, yang belum diketahui
pewakafnya. Baru-baru ini ada juga rumah wakaf
Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah,
Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin
Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan
Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di
Syamiah. Inilah bukti bagaimana generous antara
ibadah dan amal shaleh orang Aceh di
Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta
mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga
mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman
Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah
bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan
spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada
orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah
tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya
menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh
yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi
perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang
amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh
kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini,
dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di
Mahkamah Syariah Saudi Arabia
Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan
wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil
haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan
Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf
orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf
tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah
Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech
Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di
Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah
bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti
Muhammad bin Abdullah Asyi.
Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para
keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi
dengan membawa bukti kepemilikan (tentu
memerlukan proses yang lama ie menelusuri
siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan
pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan
agama Mekkah menutut ganti rugi dan
penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga
tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau
seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi
khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai
dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil
haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau
hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga
bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan
wakaf di Aceh.
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 4.30 dan
kami telah di Madinah. Setelah Check in hotel kami
langsung menuju mesjid Nabawi yang letaknya
dari hotel hanya 500 m dan bisa berjalan kali
senang rasanya bisa shalat di Mesjid Nabawi dan
bisa ziarah ke makam Rasullullah SWT. 4 hari
kami di Medinah yang umumnya waktu
dihabiskan di Mesjid dan membaca al Qur’an dan
jutaan jamaah dari seluruh dunia datang
mengunjungi Rasullah di kota Yasrib ini. Penulis
sempat bertemu dengan jamaah dari Marokko
dan menanyakan asal nesigerisaya setelah
mengetahui bahwa berasal dari Aceh Indonesia.
Jamaah ini langsung menanyakan keaadaan Aceh
paska tsunami dan perdamaian, rupanya jamaah
ini mengikuti perkembangan di Serambi Mekkah
ini.
Pada tanggal 23 Agustus kami meninggalkan Kota
Rasul menuju Mekkah dan mengambil ihram di
Bir Ali dan tiba di Mekkah pada jam 22.00 malam.
Setelah check in Hotel langsung melaksanakan
rukun Umrah yakni tawaf dan sai antara safa dan
marwah. Selama di Mekkah kami diundang buka
puasa bersama oleh Teuku Sulaiman Asyi di
Rumah wakaf Aceh dekat dengan Jabal Nur, di
kawasan gua hirak. Yang unik adalah anak-anak
Syech ini masih fasih berbahasa Aceh, walaupun
baju dan adat istiadat mereka sudah sangat Arab.
Di Mekkah juga penulis juga di sempat bertemu
dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi
serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal
di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah
wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di
daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna
perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al
Mukarramah yang terdaftar petak persil
penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh
Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di
Awe Geutah, Peusangan) dan adiknyaSyech
Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah,
Samalanga). Memang pada asalnya 75 persen
tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf
apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan
sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu
dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah
masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia
bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan
Aceh Darussalam di Asia tenggara
Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab
Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan
pengakuan identitas Asyi dan pola pengelolaan
wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam
perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama
baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat
dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di
seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir
semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh
selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian
dari peradaban dunia. Meskipun ini adalah
perjalanan yang singkat, namun banyak hikmat
yang masih perlu digali antara hubungan Aceh
dengan Arab Saudi.
Catatan M Adli Abdullah
Di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir
apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa
sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia
dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah
hampir semua negara yang saya kunjungi, nama
Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai
bagian dari peradaban dunia...
MENJELANG bulan Ramadan ini, tepatnya tanggal
18 Agustus saya melakukan ibadah umrah
bersama-sama dengan beberapa kerabat di
Banda Aceh. Sebagai bagian dari rombongan
yang dikoordinasikan oleh Ce’Man Tour and
Travel, saya memiliki beberapa refleksi mengenai
bagaimana sesungguhnya hubungan Arab dan
Aceh. Dalam laposan singkat ini, saya ingin
menjelaskan bagaimana hubungan kedua negeri
ini, hingga saya sendiri tidak pernah menduga
betapa beruntungnya menjadi orang Aceh di
tanah Suci ini. Ketika tiba di Jeddah, jam 17.55
waktu Saudi (21.55 wib), karena prosedur yang
agak ketat yang baru diberlakukan awal Agustus
tahun ini. Peraturan tersebut adalah seluruh
pengunjung yang masuk ke Saudi diwajibkan
sekarang ini diambil sidik jari, dan di photo satu
persatu. Namun, prosedur ketat ini tidak dibarengi
dengan penambahan karyawan imigrasi. Sambil
menunggu dan duduk duduk dilantai saya
mencoba membersihkan jenggot dan kumis
saya. Rupanya tindakan ini mengundang
kecuriagaan dari peugas imigrasi lebih ketat lagi.
Lalu, dengan bahasa Arab terbata bata, saya
jelaskan bahwa saya cukur jenggot sambil
mengisi waktu kosong, karena lamanya
menunggu di Imigrasi. Pegawai imigrasi
menanyakan asal saya, kemudian saya
menjawab :”Asyi”, sebuah sebutan marga Aceh
dikalangan orang Arab.
Rupanya pegawai imigrasi mengetahui bawah
Aceh itu ada di Indonesia. Alhasil, saya
diperkenankan untuk masuk ke Arab Saudi.
Rombongan kami dijemput oleh Tengku
Sulaiman Al Asyi (warga Arab Saudi keturunan
Aceh). Sambil makan saya bertanya kepada
Tengku Anwar Fuadi Abdussalam Asyi tentang
sikap marahnya pegawai imigrasi terhadap
jenggot yang saya cukur tadi. Begitu saya
menyebutkan nama Asyi, para petugas tersebut
kembali ramah. Menurut Tgk Anwar Fuadi orang
Arab suka sekali melihat orang memelihara
jenggot dan itu salah satu bentuk pelaksanaan
syari‘at Islam.
Sedangkan sebutan negeri Aceh adalah tidak
asing bagi sebagian orang Arab walaupun
sekarang hanya salah satu propinsi di Indonesia
karena banyak sekali orang Arab keturunan Aceh
mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi
Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi
mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah,
Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan
Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil
Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta
wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.
Mendengar penjelasan Tgk Haji Anwar Fuadi
Salam Asyi tambah menarik penulis untuk
menelusuri jejak Aceh di Tanah Arab ini sambil
beribadah umrah kali ini. Jadi gelar Asyi ini adalah
merupakan sebuah pengakuan identitas orang
Aceh di Arab Saudi yang sangat terhormat,
sehingga gelar al-Asyi ini kemudian bisa dikatakan
sebagai salah satu marga yang wujud di tanah
Arab.
Karena itu, saya memandang bahwa martabat
orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa.
Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak,
namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada
kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa
ada hubungan yang cukup kuat secara emosional
antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu
Aceh.
Setelah selesai makan, kami berangkat menujuh
Medinah menempuh waktu 4.30 menit. Sewaktu
melintasi kota Jeddah penulis sempat teringat
pada kisah Habib Abdurrahman Azzahir, perdana
menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan
Aceh pada masa perang Aceh dengan Belanda
kemudian meninggal di Jeddah pada tahun 1896
M. Habib yang menyerah pada Belanda pada
tahun 1877 M. tiga tahun setelah perang Aceh
Belanda meletus yang di mulai pada 26 Maret
1873, dia mengasingkan diri ke Jeddah serta
mendapat pensiun 10.000 US dolar perbulan.
Berkhianatnya Habib kepada Kerajaan Aceh dan
memihak Belanda menjadi berita besar pada saat
itu. Mayor Macleod, yang ditugas mengantar
Habib ke Jeddah sempat memplesetkan lagu
“Faldera dera” yang sangat terkenal di kalangan
orang Belanda saat itu, diplesetkan menjadi:
Nun di sana terapung istana samudra
Namanya Cuaracao
Habib yang berani akan dibawa
Ke Mekkah tujuan nyata
Kini ia berdendang riang faldera dera
Untuk gubernemen kita
Banyaknya sekian ribuan dolar sebulan
Tidak cerdikkah saya?
Snouck Hurgronje dalam bukunya Nasihat-
Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa
Kepegawaiannya (1990) mengakui bahwa dia
banyak dibantu Habib selama Snouck bermukim
di tanah Arab pada tahun 1884. Perjumpaannya
dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir sering
dilakukan di Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah.
Menurut Snouck Hurgronje bahwa dia sering
berjumpa dan bertukar pikiran dan belajar
masalah Aceh dengan Habib Abdurrahman Az
Zahir. Bahkan pada tanggal 26 Juli 1888 Snouck
sempat menyampaikan isi nota pribadi Habib
kepada Menteri Daerah Jajahan Pemerintah
Belanda Mr L.W.C. Keuchenius tentang konsep
perdamaian negeri Aceh yang memintanya
diangkat menjadi Wali negeri Aceh untuk urusan
Islam dan tetap taat kepada pemerintah Belanda.
Agaknya inilah yang menyebabkan saya terusik
apa sebenarnya peran Syaikh ini dan bagaimana
pengaruhnya terhadap pola penjajahan di Aceh
yang dilakukan oleh Belanda saat ini. Dalam
perjalanan ke Mekkah, saya sempat berdiskusi
dengan Tgk Anwar Fuadi Salam al-Asyi tentang
banyak nya harta orang Aceh di Saudi Arabia
yang merupakan wakaf. Pada tahun 1996 Tengku
Anwar sendiri telah menulis buku Harta Wakaf
Aceh. Menurutnya di Saudi banyak sekali harta
wakaf Aceh baik yang sudah dikenali maupun
yang belum dikenali. Wakaf tersebut ada yang
berbentuk wakaf umum untuk jamaah haji asal
Aceh atau orang yang menimba ilmu disana ada
juga yang wakaf khusus untuk keturunannya
yang datang ke Arab baik menunaikan ibadah haji
maupun menuntut ilmu. Jadi hubungan keilmuan
inilah yang menyebabkan bagaimana hubungan
Haramayn (Mekkah dan Madina) dengan Aceh,
yang pada urutannya menyebabkan munculnya
gelombang reformasi Islâm di Nusantara yang
dipelopori oleh ulama Aceh yang pernah berdiam
di Arab Saudi.
Sebagai contoh wakaf umum katanya wakaf
habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim
Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18
Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia
menyatakan keinginannya untuk mewakafkan
sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat
di atasnya dengan syarat; rumah tersebut
dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh
yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji
dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh
yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena
sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang
datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah
wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para
pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang
belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu
sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada
lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini
digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa
Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya
mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini
diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk
membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf
habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang
hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah
haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial
per jamaah. Namun ada juga wakaf-wakaf
lainnya seperti wakaf Syech Muhammad Saleh
Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no
324) di Qassasyiah, Wakaf Sulaiman bin Abdullah
Asyi di Suqullail (pasar Seng), wakaf Muhammad
Abid Asyi, Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di
Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di
Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan
Hayyi al Hijrah Mekkah , Rumah Wakaf di
kawasan hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah
Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah. Ada juga
wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal,
dikawasan Gazzah, yang belum diketahui
pewakafnya. Baru-baru ini ada juga rumah wakaf
Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah,
Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin
Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan
Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di
Syamiah. Inilah bukti bagaimana generous antara
ibadah dan amal shaleh orang Aceh di
Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta
mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga
mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman
Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah
bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan
spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada
orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah
tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya
menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh
yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi
perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang
amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh
kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini,
dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di
Mahkamah Syariah Saudi Arabia
Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan
wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil
haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan
Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf
orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf
tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah
Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech
Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di
Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah
bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti
Muhammad bin Abdullah Asyi.
Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para
keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi
dengan membawa bukti kepemilikan (tentu
memerlukan proses yang lama ie menelusuri
siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan
pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan
agama Mekkah menutut ganti rugi dan
penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga
tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau
seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi
khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai
dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil
haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau
hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga
bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan
wakaf di Aceh.
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 4.30 dan
kami telah di Madinah. Setelah Check in hotel kami
langsung menuju mesjid Nabawi yang letaknya
dari hotel hanya 500 m dan bisa berjalan kali
senang rasanya bisa shalat di Mesjid Nabawi dan
bisa ziarah ke makam Rasullullah SWT. 4 hari
kami di Medinah yang umumnya waktu
dihabiskan di Mesjid dan membaca al Qur’an dan
jutaan jamaah dari seluruh dunia datang
mengunjungi Rasullah di kota Yasrib ini. Penulis
sempat bertemu dengan jamaah dari Marokko
dan menanyakan asal nesigerisaya setelah
mengetahui bahwa berasal dari Aceh Indonesia.
Jamaah ini langsung menanyakan keaadaan Aceh
paska tsunami dan perdamaian, rupanya jamaah
ini mengikuti perkembangan di Serambi Mekkah
ini.
Pada tanggal 23 Agustus kami meninggalkan Kota
Rasul menuju Mekkah dan mengambil ihram di
Bir Ali dan tiba di Mekkah pada jam 22.00 malam.
Setelah check in Hotel langsung melaksanakan
rukun Umrah yakni tawaf dan sai antara safa dan
marwah. Selama di Mekkah kami diundang buka
puasa bersama oleh Teuku Sulaiman Asyi di
Rumah wakaf Aceh dekat dengan Jabal Nur, di
kawasan gua hirak. Yang unik adalah anak-anak
Syech ini masih fasih berbahasa Aceh, walaupun
baju dan adat istiadat mereka sudah sangat Arab.
Di Mekkah juga penulis juga di sempat bertemu
dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi
serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal
di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah
wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di
daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna
perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al
Mukarramah yang terdaftar petak persil
penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh
Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di
Awe Geutah, Peusangan) dan adiknyaSyech
Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah,
Samalanga). Memang pada asalnya 75 persen
tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf
apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan
sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu
dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah
masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia
bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan
Aceh Darussalam di Asia tenggara
Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab
Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan
pengakuan identitas Asyi dan pola pengelolaan
wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam
perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama
baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat
dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di
seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir
semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh
selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian
dari peradaban dunia. Meskipun ini adalah
perjalanan yang singkat, namun banyak hikmat
yang masih perlu digali antara hubungan Aceh
dengan Arab Saudi.
Comments
Post a Comment
Please write you coment.