Skip to main content

PANGLIMA ISHAK DAUD DIMATA SAYA

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh. Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh.
Teungku Ishak Daud, Panglima GAM
Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.
Saat itu yang ada di kepala saya, sebagai wartawan muda
yang masih miskin pengalaman dan agak naif, adalah Ishak Daud itu pemimpin GAM yang kejam. Dia sering menculik orang-orang yang dekat dengan militer seperti anak sekolah atau juga wartawan yang dianggapnya berat sebelah.
Info lain yang saya terima adalah beliau itu kebal, ditakuti dan sangat berani. Ketenaran Teungku Ishak sebagai panglima GAM itu membuat kawasan Aceh Timur termasuk kawasan yang paling rawan waktu itu.
Tapi berhubung saya penasaran terhadap komandan GAM yang satu ini, saya menerima ajakan Murizal. Kami berangkat dengan rombongan TVRI (media yang sering jadi bulan-bulanannya Teungku Ishak) menuju Aceh Timur dari Banda Aceh. Saya satu-satunya perempuan dalam rombongan itu.

Kami berhenti di kawasan Idi, Aceh Timur, dan mengunakan RBT atau ojek untuk mencapai Desa Keude Geurubak, yang waktu itu dianggap kawasan “hitam” oleh TNI.

Saya sempat terkagum-kagum melihat Teungku Ishak yang ternyata cool banget and was totally manly. Tubuhnya tinggi besar dan tegap. Cara bicaranya tegas, berlogat melayu dan sering sinis bila ditanya menyangkut kondisi Aceh dan kebebasan pers.

Beberapa orang yang dekat dengannya memanggil Teungku ini dengan sebutan “Abusyik” atau kakek. (Kelak saya akan memanggil beliau dengan sebutan itu juga) Saat kunjungan pertama ini, Ishak membawa saya dan rombongan keliling kawasan Keude Geurubak. Melihat rumah-rumah yang dibakar, korban kekerasan TNI (tentu saja), dan kawasan perkebunan sawit yang sepi karena ditinggalkan oleh pekerjanya. Banyak rumah yang rusak dan sudah ditinggalkan penghuninya. Kaca pecah dan dinding berlubang menjadi saksi bisu pertempuran sengit TNI/Polri dan GAM.

Siang tiba. Kami makan siang di bawah pohon sawit sambil berdiri karena tidak ada tempat duduk. Masing-masing kami diberikan sebungkus nasi putih dan eungkot meunuloh teutumeh (ikan bandeng tumis aceh) dalam plastik yang entah kenapa rasanya kok sangat enak.
Selesai makan kami masih diajak tour dengan melihat keadaan desa.

Rasanya agak aneh begitu melihat banyaknya gerilyawan GAM bersenjata AK-47 berkeliaran dengan bebasnya. Beberapa dari mereka malah ada yang menjinjing ikan untuk keluarganya. Itu merupakan pengalaman pertama saya berada di antara para gerilyawan. Padahal saya tahu mereka sedang dikejar-kejar oleh aparat keamanan.

Menjelang sore, teman-teman TVRI minta izin untuk pamit. Diluar dugaan Teungku Ishak meminta kami bermalam disana. Kami mencoba menolak dengan alasan tidak membawa peralatan mandi. Menginap bukanlah masuk dalam schedule kami di tempat yang sangat bahaya itu.

“Tenang, semua akan kami siapkan,” katanya tersenyum lebar seakan tahu kalau masalah peralatan mandi hanya alasan saja.

Anak buah Teungku Ishak kemudian datang dengan membawa handuk, sikat gigi, sabun dan bahkan shampoo satu botol besar.

“Nah, ini pasti cukup untuk sebulan kan?” katanya
terbahak.

Saya tersenyum kecut. Jelas saya tidak berminat untuk tinggal disana sebulan.

Yang pasti saya tidak bisa menghubungi siapa pun untuk memberi tahu saya menginap di Keude Geurubak bersama Teungku Ishak dan pasukannya. Tidak ada sinyal disana karena pihak GAM saja mengunakan telepon satelit. Kalau pun ada sinyal, saya juga tidak mungkin menelpon mamak saya karena beliau pasti kena serangan jantung. Meskipun saya takut dan khawatir, tapi jujur saja di hati
saya yang paling dalam saya begitu excited hehehe (dasar wartawan )

Sehabis shalat magrib, kami mengikuti Teungku Ishak dan pasukannya ke sebuah tempat yang saya tidak tahu pasti dimana. Saya hanya mendengar suara air sungai. Kami berjalan tersuruk-suruk karena kondisi jalan yang begitu gelap tanpa penerangan lampu jalan. Sesekali saya menyenggol laras AK-47 atau M-16 milik para gerilyawan yang terasa begitu dingin.

Kami tiba di sebuah gubug dari bambu yang lantainya masih berupa tanah. Suasanya gelap gulita. Tidak ada listrik karena penerangannya adalah lampu templok yang temaram. Di dalam gubuk sudah ada makanan dan juga buah-buahan. Saya keheranan melihat ada apel dan
anggur disana. Teungku Ishak tersenyum lebar melihat ekspresi saya.

“Siapa bilang kami ini terisolir? Buktinya kalian bisa makan buah-buahan seperti ini,” katanya bangga.

Malam itu saya dapat giliran mewawancara Teungku Ishak untuk koran saya (waktu itu saya bekerja untuk Tabloid Kontras, anak usaha harian Serambi Indonesia). Dalam penerangan lampu minyak kami ngobrol banyak, mulai dari perjuangan GAM, cita-cita GAM dan seperti biasa
Ishak mengritik wartawan yang tidak pernah mau independen dan selalu membela TNI.

Setelah ngobrol ngalor ngidul, kami diminta tidur.

“Yang laki-laki tidur dengan saya di bale-bale ini. Nani biar tidur di kamar sana, dia kan perempuan,” kata Teungku Ishak.

Saya terkesan saat itu. Ishak ternyata sangat menghormati perempuan. Dan sikap penghormatan itu tetap terlihat saat saya bertemu beliau beberapa kali setelah ini.

Malam itu begitu gelap dan sunyi. Saya berbaring di bale-bale yang cuma dialasi tikar pandan tanpa bantal tanpa bisa memejamkan mata sama sekali. Gubuk itu kembali gelap gulita karena lampu minyak sudah dimatikan. Hanya suara-suara bisikan beberapa pria di luar gubuk yang
ternyata sedang dapat giliran jaga.

Saya teringat pulpen saya yang ketinggalan di meja tadi. Baru akan melangkah ke keluar kamar, saya merasa menginjak tubuh manusia. Rupanya ada prajurit GAM yang tertidur di depan kamar saya.

Saya mengurungkan niat untuk keluar kamar kembali ke bale-bale saya. Yang pasti saya sama sekali tidak tidur malam itu.

Menjelang subuh saya akhirnya berhasil keluar kamar. Saya melihat Teungku Ishak sedang shalat di bale-bale sementara wartawan lain masih tertidur. Beliau shalat begitu khusuk dan tidak menyadari kehadiran saya.

Akhirnya pagi datang (ini pagi terlama yang pernah saya alami). Saya dan teman-teman wartawan ke sungai yang ternyata terletak di belakang gubuk untuk cuci muka. Teman dari TVRI mengomel-ngomel karena mereka kenyang dinasehati Ishak Daud soal bagaimana media
harus independen Hehehehe :-)

Menjelang pukul 8 pagi kami dilepas Teungku Ishak dan pasukannya pulang. Kami pun berpamitan. Ada sebuah L-300 (kendaraan angkutan di Aceh) yang menjemput kami di Keude Geurubak, saya pikir itu pasti atas suruhan sang panglima. Kami naik ke mobil L-300 itu yang melaju
meninggalkan Teungku Ishak yang melambaikan tangan..

Setelah pertemuan di Keude Gerubak tahun 2001 itu saya tidak pernah lagi ke Aceh Timur untuk bertemu Ishak Daud. Maklum, karena posisi saya di Banda Aceh, saya cenderung untuk meliput di kawasan Aceh Besar atau Aceh Utara. Kawasan Aceh Timur memang biasanya diliput
teman-teman wartawan di Aceh Utara.

Meskipun demikian saya sering menghubungi Ishak Daud melalui telpon satelitnya sekedar konfirmasi berita atau beliau menelpon untuk melaporkan suatu kejadian. Saya memang mulai menjadi koresponden The Jakarta Post untuk Aceh waktu itu. Biasanya beliau menelpon sore hari, seakan tahu sekali kalau deadline saya itu pukul 5 sore.

Tentu saja tidak semua informasi yang diberikan panglima GAM yang satu ini bisa saya tulis. Saya bukan corong mereka dan saya akan memilih yang benar-benar penting untuk media saya. Sebagai wartawan saya mesti berjuang untuk memilah news value dan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak terjebak di antara TNI dan GAM. Sumpah, ini bukan pekerjaan yang mudah.

Di akhir tahun 2002 ternyata saya kembali bertemu Panglima Ishak Daud. Beliau mengundang saya untuk “main” ke tempatnya.

“Ke sinilah, nanti kita makan ikan bakar sama-sama,” katanya. Ikan bakar? Saya sepertinya tergoda untuk memenuhi undangan itu. Bukan karena ikan bakarnya, tetapi karena saya kebetulan penasaran dengan kondisi Panglima itu.

Dan kelihatannya beliau semringah begitu tahu saya bersedia ke tempatnya.

“Nah, nyan jroh. Bek jak u piasan awak tantra manteng (nah itu kan baik, jangan Cuma datang ke acara tentara saja),” katanya masih sempat-sempatnya bersinis ria pada saya.

Undangan itu juga kebetulan datang saat Aceh sedang mencoba untuk menyelesaikan konflik sejak 1976 itu. Adalah Henri Dunant Center (HDC) yang sedang mencoba menjadi fasilitator perdamaian antara GAM dan TNI di tahun 2002. Dalam proses perdamaian itu, ada proses yang dinamakan the cessation of hostilities agreement (perjanjian penghentian permusuhan). Pihak GAM dan TNI dilarang saling serang.

Saya dan beberapa teman dari Banda Aceh dan Lhokseumawe kemudian berangkat ke Aceh Timur. Seperti biasa hanya saya satu-satunya perempuan dalam rombongan. Kami sempat bermalam di losmen Kartika (sekarang hotel) Langsa semalam, sebelum paginya
mendapat informasi dimana pertemuan akan diadakan.

Sepertinya pergerakan kami sudah diketahui beberapa aparat keamanan yang menyamar di losmen tempat kami menginap. Para anggota intelejen itu mondar mandir di depan kami yang kebetulan baru pulang sarapan nasi gurih di dekat losmen. Beberapa dari mereka malah duduk dekat kami, sementara yang lainnya duduk di teras losmen.

Sebagai wartawan yang sudah lama di Aceh, kami sangat mengenal mana yang intelejen aparat keamanan atau yang intelejen GAM.

“Kita harus naik kendaraan biasa,” kata seorang teman TV.
”Kalau membawa mobil bisa-bisa kita diikuti,”

Ishak Daud menelpon dan mengatakan bahwa pertemuannya akan diadakan di suatu kawasan dekat Simpang Ulim yang artinya kami semua harus kembali lagi ke arah Lhokseumawe.

Kami menumpang labi-labi (angkot di Aceh), kemudian menyambung kendaraan colt L-300. Di Simpang Ulim (mengikuti petunjuk Ishak lewat telepon satelitnya) kami berbelok menuju kawasan Pante Bidari Aceh Timur. Cukup jauh juga kami menyusuri jalan hingga akhirnya mobil itu
berhenti di sebuah tempat bertenda biru yang dipenuhi dengan penduduk setempat.

Ishak menyambut rombongan kami dengan senyum lebar. Masih seperti beberapa tahun saya bertemu, panglima ini kelihatan tetap cool. Pakaiannya rapi sepertinya siap bertemu dengan wartawan. Pistol jenis FN terlihat di pinggangnya, sementara anak buahnya seperti biasa
menjinjing senjata AK-47 dan M-16 berbaur dengan masyarakat, termasuk anak-anak dan para remaja putrinya.

Bila dengan wartawan lelaki Ishak bersalaman sangat lama, saya justru diperlakukan beda. Dia menjabat tangan saya sekilas dan begitu cepat seolah terpaksa harus bersalaman dengan perempuan. Meski begitu, dia begitu ramah pada saya, bahkan jauh lebih ramah dibanding pertemuan di Keude Geurubak beberapa tahun yang lalu.

”Kiban Nani? Jroh mandum (bagaimana Nani, semua baik?)?” tanyanya. Pertanyaan sama yang biasa dia lontarkan kalau menelpon saya.

Di tempat itu kami kembali bertemu dengan masyarakat yang begitu mengidolakan sang panglima. Tidak ada rasa takut di wajah mereka. Padahal saya, dan saya yakin mereka juga, tahu kalau sebentar lagi akan ada operasi TNI ke wilayah tersebut mencari idola mereka. Dan seperti biasa rakyat sipil akan diinterogasi.

Kami ngobrol soal update kondisi kekinian Aceh yang menjelang perdamaian. Ishak sepertinya tidak begitu percaya bahwa perdamaian akan terjadi. Pasalnya meskipun ada informasi penghentian permusuhan, TNI tetap saja melakukan operasi.

”Bagaimana mungkin bisa damai kalau tidak ada kepercayaan,” katanya serius.

Menjelang siang pesta ikan dimulai. Ada banyak ikan besar, termasuk ikan pari, yang panggang masyarakat untuk dimakan bersama-sama. Saya hanya menghabiskan seekor ikan ukuran kecil yang seperti biasanya rasanya sangat enak. Sementara teman-teman saya sepertinya mabuk ikan bakar.

Menjelang sore kami meninggalkan tempat itu. Saya bersyukur tidak perlu menginap kali ini. Kali ini kami langsung tancap gas ke arah Lhokseumawe tanpa melihat kiri kanan. Beberapa teman kelihatannya tertidur sepanjang perjalanan. Mungkin mereka kebanyakan makan ikan
bakar.

Indonesia menerapkan darurat militer di Aceh tanggal 19 Mei 2003 setelah dialog antara GAM dan Indonesia yang difasilitasi HDC gagal. Sebenarnya kegagalan dialog itu sudah terlihat sejak pertama karena kedua belah pihak tetap saling tidak percaya dan masih saling serang.
Yang saya ingat pemerintah kemudian menempatkan 30,000 pasukan TNI dan 12,000 polisi di Aceh untuk mensukseskan darurat militer tersebut, dengan target menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Masa darurat militer cukup menyibukkan kami yang berprofesi sebagai wartawan. Bukan hanya meliput berita yang kebanyakan insiden, tetapi juga memilah-milah mana berita yang bisa dikeluarkan karena salah-salah kami juga bisa dianggap mendukung pihak GAM. Selama darurat
militer, sepertinya istilah cover both side terlupakan karena semua informasi resmi itu berasal dari militer, sebagai penguasa darurat di Aceh.

Suatu hari di awal bulan Juni 2003, saya ditelpon nomer satelit. Nomer yang tidak tersimpan di HP saya.

”Assalamualaikum, Nyoe Nani (Assalamualaikum, apa ini Nani?)?”

”Waalaikum salam, betoi, meuah, nyoe numboi soe (Waalaikumsalam, benar. Maaf, ini nomer siapa ya?)?” tanya saya.

Saya mendengar lawan bicara saya tertawa terbahak-bahak.

“Omannn…Bagah that tuwo keu lon. Nyoe lon Ishak (ya ampun cepat sekali lupa saya. Ini Ishak,”

Saya merasa jantung saya berdegub sangat kencang. Ini pertama kalinya Ishak Daud menelpon saya sejak darurat militer di tetapkan di Aceh. Tangan saya langsung keringatan. Tapi saya mencoba menguasai diri dari kegugupan saya.

”Oh Teungku Ishak? Kiban teungku? Peu jroh mandum (oh Teungku Ishak? Bagaimana Teungku? Baik semua)?”

”Nyoe kamoe kondisi bermasalah bacut Nani. Tapi kamoe hana tem surot. Hana peu syahid demi Aceh. Awak nyan rame that, yang sayang masyarakat habeh ye mandum. Nyoe payah Nani teupeu. (Kondisi kami agak bermasalah sedikit Nani. Tapi kami tidak akan mundur. Tidak apa-apa mati syahid demi Aceh. Mereka ramai sekali dan yang kami sayangkan masyarakat semua takut, ini yang harus Nani tahu,” kata Teungku Ishak panjang lebar.

Oh my God, saya tidak tahu harus bilang dan berkomentar apa pada pernyataan Ishak itu. Haruskan saya bilang Teungku hati-hati ya? Atau haruskah saya bilang Saya doakan Teungku, atau saya harus bilang kata-kata lain yang menunjukkan simpati? Bukankah Ishak Daud
juga manusia yang mungkin butuh support dan spirit? Beliau sudah hampir 3 tahun menjadi nara sumber saya.

Tapi kalau saya memberikan semangat pada Teungku Ishak Daud berarti saya memihak dong. Terus bagaimana dengan pihak satu lagi?

Saya mengigit bibir saya. Ishak Daud menganggap Indonesia salah karena menjajah Aceh, dan sebaliknya Indonesia menganggap Ishak Daud sebagai separatis yang ingin keluar dari negara kesatuan.

Nah, berdasarkan pengalaman, saya tahu sekali kalau posisi saya sebagai wartawan ya berdiri di tengah-tengah bersama masyarakat biasa yang menderita karena pertikaian itu. Itu sudah mutlak.

”Nani, lon senang droun dalam kondisi jroh. Meudoa ke kamoe beh. Semoga tanyoe bagah merdeka. Insya Allah (Nani, saya senang kamu dalam kondisi baik. Tolong doakan kami ya. Semoga kita semua cepat merdeka. Insya Allah), ‘ kata Ishak.

” Insya Allah Teungku beujroh sabee (Insya Allah Teungku baik-baik selalu),’ kata saya.

” Boh kajeut. Merdeka (Baik, Merdeka). ” telpon ditutup. Ishak Daud memang selalu menyebut kata Merdeka setiap menutup telponnya.

Itu kali terakhir Ishak Daud menghubungi saya. Berikutnya dia pasti kehilangan jejak saya karena no telpon yang biasa saya gunakan mendadak diblokir oleh Penguasa Darurat Militer. Nomer saya itu dianggap terlalu intens berhubungan dan menghubungi pihak GAM. Ohhh nooo….

Beberapa minggu kemudian saya disibukkan dengan liputan yang tidak habis-habisnya. Dan pada akhir Juni 2003 saya mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Ishak Daud menyandera wartawan. Ampyunnn…

Saya sempat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, disaat mereka diserang ribuan TNI kok bisa-bisanya mengadakan sweeping di jalanan dan kemudian menyandera orang. Ishak benar-benar membuktikan diri
kalau dia masih punya taring dalam soal culik menculik. Bahkan dalam kondisi darurat militer sekalipun.

Berikutnya saya mengetahui kalau korban penculikan Teungku Ishak adalah wartawan RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro. Bersama Ersa juga ditawan dua orang istri perwira AU yaitu Safrida (35) dan Suraya (30). Terlepas dari kekesalan saya pada Teungku Ishak yang nekad
menyandera wartawan, saya merasa agak aneh juga kenapa Bang Ersa membawa dua orang sipil –istri tentara pula—di dalam mobilnya.

Kembali Ishak Daud menjadi primadona media paska menyandera sipil. Semua media menghubunginya. Dan dia menyatakan kalau dia mencurigai ada pihak militer yang menyamar menjadi wartawan sehingga dia terpaksa juga menyandera wartawan RCTI.

Selama heboh diculiknya wartawan RCTI, saya kebetulan lebih konsentrasi liputan di Banda Aceh. Untuk liputan soal Ishak Daud lebih banyak dilakukan oleh rekan The Jakarta Post yang kebetulan berada di Lhokseumawe, Aceh Utara. Saat itu memang banyak sekali wartawan yang datang dari Jakarta untuk melakukan peliputan di Aceh.

Begitu juga saat Bang Ersa meninggal waktu kontak tembak di kecamatan Simpang Ulim Desember 2003, semua proses peliputan dilakukan oleh rekan-rekan di Lhokseumawe. Selamatnya para istri TNI dalam sandera GAM juga menjadi berita penting setelahnya.

Kini hanya tinggal kameramen RCTI Fery Santoro yang masih disandera. Dan itu sudah menjelang setahun.

Informasi rencana pembebasan Fery Santoro sangat santer. Wartawan berkumpul di Losmen Kartika Langsa semakin banyak. Mereka berasal dari Banda Aceh, Lhokseumawe, Medan bahkan juga dari Jakarta Kebanyakan adalah wartawan TV yang membawa serta mobil SNG mereka. Satu kamar losmen ditempati hingga 4 hingga 5 orang karena semua wartawan tidak mau tinggal berpisah-pisah. Mereka takut tidak berhasil meliput pembebasan Fery dan memutuskan stick together till the end.

Dari semua rombongan, saya melihat Imam Wahyudi dari RCTI dan teman-teman dari AJI sibuk menghubungi pihak Ishak dan militer. Menghubungi Ishak Daud untuk prosedur pembebasan Fery dan menghubungi penguasa darurat militer untuk permintaan agar pihak militer bisa memberikan waktu dan tidak menyerang.

Losmen Kartika bertambah ramai karena ditambah relawan PMI dan tentara-tentara. Belakangan penguasa darurat militer daerah (PDMD) Mayjen TNI Endang Suwarya dan para pengawalnya malah ikutan menginap di Losmen Kartika. Kamar mereka tidak jauh dari tempat kami berkumpul.

Selain PMI, delegasi ICRC juga terlihat sibuk. Mereka sering melakukan rapat dengan PMI, Militer dan beberapa perwakilan RCTI dan AJI. Mencari formula yang paling tepat untuk pembebasan sang sandera. Pihak Ishak Daud yang diwakili lawyernya Alfian juga selalu terlihat dan
menjadi sasaran empuk wawancara jurnalis yang haus berita.

Segala sesuatu bisa berubah setiap hitungan jam. Bahkan konfrensi pers pun bisa dilakukan pukul 12 malam. Saya sempat berpikir kok bisa ada konfrensi pers tengah malam sementara koran sudah naik cetak dan TV sibuk memutar film action saat jam seperti itu.

Semua wartawan punya ambisi sama, yaitu bisa menyaksikan pembebasan Fery. Keinginan itu diakomodir Ishak Daud yang ternyata mengundang semua wartawan untuk datang tanpa terkecuali. Undangan itu jelas tidak disetujui oleh PDMD karena berbahaya dan memberi peluang untuk GAM menaikkan pamornya.

Setelah beberapa hari mengalami deadlock, akhirnya win win solution dicapai. Fery akan dilepas. Pihak PDMD tidak akan mengerahkan pasukannya selama proses itu. Tidak semua wartawan boleh masuk, hanya beberapa saja yang dipilih dan setujui GAM dan PDMD. Bahan berita, foto, gambar video yang didapat akan menjadi milik semua
orang alias poll. Tidak ada ekslusif-ekslusifan karena misi kemanusiaan diutamakan.

Sejumlah nama perwakilan wartawan dipilih. Beberapa ditolak karena bekerja di media asing (yang menolak adalah TNI, sementara Ishak justru sangat senang dengan blow-up media asing). Setelah proses yang cukup panjang itu akhirnya saya dihubungi ketua AJI waktu itu Eddy Suprapto untuk masuk dalam tim.

Alasan memasukkan saya ke tim ternyata karena dua faktor 1. saya perempuan (alamak) 2. saya pernah berhubungan baik dengan Ishak (nah loh). Saya baru sadar ternyata dalam hal emergency seperti ini masalah gender juga harus dipertimbangkan.

Saya sadar sesadar-sadarnya ini bukan pekerjaan yang aman. Masuk ke tempat GAM saat darurat militer? Bisa-bisa ketika keluar saya akan ditangkap oleh militer dan diinterogasi. Apa pun mungkin saat darurat militer.

Teman AJI meyakinkan saya kalau semua akan aman-aman saja.

”Ada Munir RCTI juga dalam rombongan,” kata Pak Eddy saat itu.

Saya melirik Bang Munir yang tersenyum-senyum simpul. Saya mengenal Bang Munir sejak lama. Beliau teman liputan yang sedikit konyol dan berani. Yang lebih penting beliau wartawan lokal, sama seperti saya. Munir juga kecilnya pernah di Aceh Timur, setidaknya kalau ada apa-apa ada yang bisa saya andalkan.

”Perjanjiannya harus menginap,” kata Pak Eddy.
”Kalau semalam tidak masalah,” kata saya.

Terpilihnya saya dan beberapa teman (Husni Arifin/Republika, Munir dan Imam/RCTI, Nezar Patria/ Tempo/AJI dan Solahuddin IFJ) menunai berbagai kecaman. Banyak diantara mereka yang menganggap pemilihan anggota tim tidak fair.

Bahkan saya sempat dimusuhi beberapa teman yang menganggap saya sengaja menyodor-nyodorkan diri supaya bisa dimasukkan ke dalam tim. Saya dianggap terlalu berambisi, egois dan mau menang sendiri.

Andai saja mereka tahu kalau saya menerima permintaan ini murni hanya karena saya ingin Fery cepat bebas. Kami, wartawan lokal, cukup lelah dengan masalah sandera ini dan ingin cepat selesai. Tidak ada pikiran untuk mendapatkan gambar ekslusif dari sana. Kalau bisa saya malah ingin bertukar tempat.

Andai mereka pernah menginap semalam dengan Teungku Ishak seperti yang pernah saya alami tahun 2001, mereka pasti akan tahu bahwa ini bukan keputusan mudah. Andai mereka tahu bahwa tidak ada seorang pun yang bisa tahu apa yang akan terjadi di ”dalam” sana termasuk
juga jaminan bahwa ketika keluar dari sana kami akan selamat.

Menjadi jurnalis di wilayah konflik memang terkesan keren dan semua orang berlomba-lomba ingin pernah merasakannya. Tapi tidak banyak yang tahu kalau nyawa diri dan keselamatan orang banyak lebih penting dari cuma satu dua foto ekslusip.

Akhirnya tanggal 13 May tim kami berangkat ke kawasan Peudawa. Menuju Desa Lhok Jok. Tidak pernah saya bayangkan bahwa saya akan mengalami hal yang lumayan membuat saya trauma di sana..

Siang begitu terik ketika kami tiba di Desa Lhok Jok. Begitu kami akan menjangkau desa itu, mobil diberhentikan oleh pasukan GAM bersenjata lengkap untuk digeledah.

So here we are.. pikir saya nelangsa.

Saya membawa tas kamera besar (saya memang juga bekerja untuk European Press Photo Agency (EPA) saat itu) yang berisi satu body kamera Canon D10, dua lensa, 6 buah batere kamera, 2 buah kartu memory card camera 512 megabytes, notes, handphone (yang sama sekali tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal), pulpen, kain batik
panjang, sikat gigi, inheler ventolin (saya asma berat), 10 butir obat alergy salbutamol, senter kecil (warna hitam pemberian sobat saya wartawan BBC).

Anggota GAM bersenjata lengkap itu membawa kami menuju ke sebuah meunasah di Desa Lhok Jok.

“Pat Teungku Ishak? (mana Teungku Ishak?)” tanya Munir yang sedari tadi sibuk mengambil gambar dengan handy cam-nya.

”Abusyik siat trek troh Bang, neupreh mantong (Abusyik sebentar lagi datang, tunggu saja),” kata si prajurit.

Kami duduk di dekat Meunasah yang mulai ramai oleh masyarakat. Sebuah mobil sedan berhenti tak jauh dari kami. Pengacara Ishak Alfian turun membawa istri Ishak Daud, Cut Rostina dan dua anaknya.

Tak lama kemudian Ishak Daud muncul dari kejauhan bersama dengan belasan pasukan GAM bersenjata lengkap. saya yang mengambil gambar Ishak dengan lensa panjang saya cukup kaget melihat kondisi Ishak. Diakui atau tidak Panglima itu memang agak berubah. Kini beliau
lebih kurus, lebih hitam dan kelihatan lelah.

Perbedaan lain, kini Teungku Ishak menenteng AK-47 untuk dirinya sendiri. Ada peluru cadangan di kantong celananya. Padahal sebelumnya saya melihat beliau hanya memakai pistol FN. Ransel hitam di punggungnya kelihatannya sangat berat.

Namun senyumnya sama pada saat saya bertemu dengan beliau setahun yang lalu. Dan terus terang saja, kondisi itu malah membuat beliau makin tambah keren.

Ishak tidak menghampiri kami. Dia langsung menghampiri istri dan anaknya. Saya melihat Ishak memeluk anak laki-lakinya Ambiya dengan erat. Ada kerinduan yang bisa saya lihat dari moment pertemuan Ishak dan keluarganya.

Setelah itu barulah beliau menyalami para wartawan. Senyumlah langsung merekah begitu melihat saya. Seperti biasa dia menyalami saya buru-buru ketimbang teman wartawan laki-laki lainnya.

”Nyan ban, menyo hana lagee nyan hana mungken tanyoe meurumpok. Betoi ken Nani (Nah kan, kalau tidak seperti ini mana mungkin kita bertemu. Iya kan Nani)?” kata Teungku Ishak.

Saya tersenyum kecut.

Kami ngobrol-ngobrol soal prosesi pembebasan Fery. Imam dan teman-teman lain mendominasi pembicaraan, sementara saya sibuk mengambil foto prajurit GAM yang mondar mandir.

Ishak mengatakan kalau prosesi penyerahan Ferry baru bisa dilakukan besok siang. Masalahnya bukan hanya Fery yang akan diserahkan ke ICRC tetapi juga ratusan masyarakat yang selama ini berlindung pada GAM karena diancam TNI. Masalah lain adalah karena jumlahnya
ratusan, mereka berada di tempat-tempat berbeda-beda. Butuh waktu untuk membawa mereka semua ke Lhok Jok.

”Perlu waktu dua tiga hari lah,” kata Ishak santai.Saya mengerutkan kening, dua tiga hari? Loh bukannya kami hanya menginap semalam?

Ishak sepertinya mengetahui pikiran teman-teman wartawan. Dia tertawa.

”Orang-orang itu sama seperti Fery, mereka butuh perlindungan ICRC jadi harus diperlakukan sama,” katanya.

”Dan karena kalian semua sudah disini, kalian harus menunggu proses sampai selesai,”

Ishak kemudian menambahkan kalau dia akan melakukan kenduri (acara makan-makan) di Lhok Jok dalam prosesi penyerahan Fery.Semua sudah siap, termasuk konsumsinya.

Saya mencoba untuk tidak mengeleng-gelengkan kepala. Ampyunnnn.. Dalam kondisi begini masih sempat-sempatnya acara kenduri. Jangan-jangan Teungku Ishak lupa kalau diluar sana TNI sedang sebel-sebelnya
menunggu prosesi ini agar cepat selesai….

Imam kelihatan cemas. Saya tahu alasannya. TNI hanya memberikan waktu tidak lama untuk prosesi pembebasan Fery. Nah kalau sampai dua tiga hari bisa bahaya..

Rekan-rekan wartawan akan menginap di meunasah bersama prajurit GAM lain. Ishak menoleh ke saya.

”Nani dem bak rumoh masyarakat beh. Mangat lebeh mangat eh (Nani nginep di rumah masyarakat ya. Supaya tidurnya lebih enak),” katanya.

Saya langsung menolak. Kalau mau tidur enak jelas dirumah sendiri di Sigli sana bukannya di sini. Dalam kondisi seperti ini lagi.

”Lon bah disinoe teungku. Meusapat ngon yang laen (saya biar disini Teungku, barengan sama yang lain),” kata saya.

”Betoi? disinoe le nyamok (beneran? Disini banyak nyamuk),” dia seolah tak percaya.

”Betoi, tapi jeut lon lakee bantai saboh (Benar, tapi boleh minta bantal satu)? Kata saya cengengesan.

Setengah jam kemudian saya mendapatkan bantal yang lumayan empuk. Sarung bantalnya merah jambu dan baunya sangat bersih. Pasti dari masyarakat di sekitar. Bukan hanya saya, teman-teman lain juga mendapatkan bantal.

Sementara Teungku Ishak sudah menghilang. Kata anak buahnya dia menginap di rumah salah satu kerabatnya di Lhok Jok bersama anak dan istrinya.

Sore menjelang. Kami bersama beberapa anggota GAM menuju tempat untuk cuci muka dan mandi. Saya tidak mandi, hanya cuci muka saja. Beberapa dari prajurit GAM malah sudah bercelana pendek dan mandi di sumur yang bersih itu. Senjata mereka diletakkan tak jauh dari pakaian
mereka. Sepertinya mereka balas dendam dengan banyak memakai air. Saya berdiri agak jauh dari mereka. Risih saya.

”Jarang-jarang kami dapat air Kak, makanya kalau ada airnya kami mandi puas-puas,” kata salah satu prajurit GAM yang menemani saya menunggu rekan-rekannya mandi.

Saya mangut-mangut. Dari jauh saya melihat beberapa dari prajurit sepertinya keramas karena busa shampoonya banyak sekali.

Selesai mandi dan sudah dalam kondisi wangi (bau sabun, shampoo dan colonge entah apa mereknya).

Sore makin gelap. Kondisi perkampungan kini gelap gulita. Tidak ada listrik di kampung itu karena sudah lama pihak GAM memutus aliran listrik. PLN tidak berani masuk ke kampung itu karena terkenal sebagai basis GAM. Kampung itu sering didatangi GAM karena lokasinya dekat dengan perbukitan.

Meunasah itu diterangi oleh gengset yang suaranya membuat kepala saya sakit.

Para prajurit GAM itu melakukan shalat magrib berjamaah dengan khusuk. Setelah itu hidangan makan malam terhidang menunggu untuk disantap.Saya lupa menu malam itu. Tetapi kami makan dengan perasaan senang.

Ishak datang mengunjungi kami seusai shalat Isya. Dia membawa serta Ambiya anaknya. Kami ngobrol macam-macam, mulai dari darurat militer, perdamaian yang gagal,kronologis penyanderaan Fery versi Ishak Daud, dan yang sudah saya duga soal wartawan yang dianggap memihak ke tentara.

”Seharusnya wartawan itu mencari berita turun langsung ke masyarakat, bukan malah dari tentara. Itu kan namanya tidak objektif,” katanya serius.

Kami yang hadir mangut-mangut takzim.

”Kalau hanya dari militer bagaimana kalian tahu kebenaran yang terjadi. Masyarakat sudah banyak yang jadi korban, masa kalian pura-pura tidak tahu,” balasnya lagi.

Menjelang pukul 9 malam, Ishak pamit dan meminta kami semua istirahat. Salah satu anggota GAM memberikan lotion anti nyamuk kepada kami.

”Nyamuk disini besar-besar, ini bisa membantu,” katanya
sambil tersenyum ramah.

Saya merebahkan diri di lantai pojokan meunasah yang dialasi tikar. Menutup tubuh saya dengan kain batik panjang. Cukup lama juga saya tidak bisa tidur. Bahkan saat gengset itu akhirnya dimatikan dan sekeliling menjadi begitu gelap. Yang terlihat kini hanyalah beberapa
bayangan prajurit GAM berjaga di bawah sinar bulan…

Saya bangun menjelang subuh. Beberapa prajurit GAM saya lihat shalat dengan khusuk.

Hari itu aktifitas kami hanyalah menunggu kedatangan Fery yang dijadwalkan akan tiba siang hari. Tidak banyak yang kami lakukan. Imam sibuk membaca buku harian Fery yang dipinjamkan Ishak, sementara saya sibuk mengambil foto dan bercakap-cakap dengan prajurit GAM lainnya.

Masyarakat terlihat bolak balik di tempat itu. Terkadang mereka bercakap-cakap dengan anggota GAM dengan akrabnya. Perempuan-perempuan juga kelihatan sibuk menyiapkan makan siang.

Menjelang siang suasana panasnya luar biasa. Saya mulai bosan dan akhirnya menghampiri Ishak Daud yang baru saja menerima telpon dari wartawan lewat telepon satelitnya.

”Teungku, lon meuheut mita ie leupie. Jeut lon jak siat mita kios (Saya ingin minuman yang dingin, bisa saya pergi sebentar cari kedai?)” tanya saya.

Ishak langsung mengeleng.

”Hanjeut. Mandum wartawan harus na disinoe.Lon yang tanggung jaweb. Peu meuheut jeb ( Nggak boleh. Semua wartawan harus ada disini. Saya yang tanggung jawab. Kamu mau minum apa)?” tanyanya.

Secara refleks saya melihat pohon kelapa yang terlihat berjejer di dekat meunasah.

”Ie U jeut chit (air kelapa boleh deh),” kata saya.

Hanya 30 menit kemudian satu baskom air kelapa muda sudah ada di depan saya. Bukan hanya kelapa muda, tetapi lengkap dengan es dan sirup merah yang dari baunya saya tahu itu pasti sirup cap patung, kegemaran orang Aceh.

Es dan sirup. Bayangkan di tempat seperti ini yang tidak ada listrik, ada es. Dan sirup itu. Luar biasa. Padahal saya cuma mau minum kelapa muda biasa untuk tidak merepotkan. Tapi ini, kelapa muda dengan sirup dan es. Sangat luar biasa.

Saya melihat tim ICRC sudah datang. Mereka disambut Ishak dengan ramah. Fery akan datang sebentar lagi.

Setelah makan siang, yang ditunggu datang. Fery muncul dengan serombongan pasukan. Dia langsung memeluk Imam yang terlihat terharu.

Semula Ishak tidak mengizinkan Fery untuk keluar dengan ICRC. Tetapi setelah ICRC berjanji untuk membawa Fery kembali besoknya, Ishak akhirnya setuju. Dia juga minta kami untuk menginap semalam lagi sebagai jaminan. Nah loh.

Akhirnya kami terpaksa bertahan disana. Melepas kepergian Fery dengan mobil hingga hilang dari pandangan. Hanya sedikit yang tahu bahwa saya sempat menitipkan satu memory card kamera saya untuk
wartawan yang berada di Langsa. Firasat saya minimal ada foto yang bisa selamat dari sini seandainya terjadi apa-apa pada saya.

Sore datang, kali ini kembali kami bersama anggota GAM lain menuju sumur untuk bersih-bersih.

Pulangnya saya duduk disamping salah seorang prajurit GAM (saya lupa namanya) yang sedang membersihkan AK-47-nya. Dengan bangga dia memperagakan bagaimana membuka bagian-bagian dari senjatanya dan membersihkannya dengan minyak mesin jahit bermerek
singer.

”Cara pegangnya begini Kak, nah karena setiap mengeluarkan peluru sentakannya kuat, maka gagang AK ini ditaruh di pangkal lengan begini…” katanya memperagakan. Saya mangut-mangut.

”Kita bisa setel jumlah peluru yang keluar. Bisa satu-satu, bisa juga dua dua namanya semi otomatis. Nah kalau yang otomatis bisa keluar banyak sekalian, tapi kan rugi kak. Kata Abusyik kita harus hemat,” katanya sambil memberitahu saya bagaimana cara menyetel otomatis dan semi otomatis di senjatanya.

Berikutmya dia mengajari saya memasukkan peluru AK ke dalam magazen. Menurutnya setiap anggota GAM punya magazen cadangan. Si prajurit sangat bangga memakai AK-47. Alasannya senjatanya itu badung dan tidak cepat meleyot seperti senjata lainnya.

Hanya dalam waktu sejam saya tahu bagaimana cara kerja senjata itu langsung dari ahlinya. Setidaknya secara teori.

Malam turun. Suara gengset yang menyebalkan ituterdengar lagi. Saya baru saja bersiap-siap akan tidur ketika mendengar ada kegaduhan di luar meunasah.

Rupanya Ishak mendapat informasi kalau TNI tidak mau memberikan waktu sehari lagi untuk pelepasan sandera. Sejumlah tank dan ratusan pasukan TNI sedang dikerahkan untuk mengepung Desa Lhok Jok berikut kami yang berada disana.

Saya langsung punya firasat buruk. Saya mengemasi semua barang-barang saya dan menyusul teman-teman saya di luar meunasah.

Imam sudah mencoba meminta kepada teman-teman di Langsa untuk memberi waktu sehari lagi. Tetapi sepertinya tidak berhasil. Kami berlima duduk dalam kondisi syok. Bingung harus berbuat apa.

Para prajurit GAM sepertinya marah. Marah karenarencana tidak sesuai dengan rencana mereka. Dan kemarahan mereka sudah pasti diarahkan ke kami.

”Ka pasti lagee nyoe akhee buet. Yang paih tatimbak saboh-saboh mangat leuh mandum. Hana payah tanyo (Sudah pasti akhirnya begini. Yang benar kita tembak satu-satu supaya kita tidak perlu repot),” kata seorang anggota GAM dengan mata nanar.

Yang mengancam itu, kita panggil saja Mr X, sudah sejak siang sepertinya benci sekali pada wartawan. Dia memakai kalung yang bandulannya berbentuk kain yang saya pikir adalah jimat. Wajahnya seram.

Kata orang, si Mr X itu adalah pencari dana untuk GAM yang dulu ngetop dengan istilah pajak nanggroe. Saya melihat sejak siang dia kerap mengintimidasi saya lewat perlakuan dan kata-kata. Kemana-mana dia membawa kantong plastik berwarna hijau berisi buku catatan dan..
ada pistol jenis (kalau tidak salah) FN disitu.

Setelah mengucapkan kalimat itu, si Mr X mengambil kantong plastiknya dan langkahnya langsung menghampiri saya. Kelakuannya didukung oleh yang lain. Semua bicara dengan bahasa daerah yang saya dan Munir mengerti, tetapi tidak untuk teman saya yang lain.

Melihat itu Teungku Ishak menenangkan Mr X dan anak buahnya.

”Nyan ken cara keu masalah nyoe (Bukan ini cara menyelesaikan masalah ini),” katanya sambil memandang si Mr X tegas. ”Tanyoe hanjeut poh wartawan ntrek donya hana geudukung tanyo lee (Kita tidak bisa bunuh wartawan karena internasional tidak akan mendukung kita lagi),”

Si Mr X mundur. Pistolnya kembali dimasukkan ke kantong plastiknya. Saya gemetaran. Antara takut dan marah. Akhirnya diputuskan untuk membawa wartawan ikut ke gunung. Ini sama seperti penyanderaan jilid ke II tetapi dengan jumlah sandera lebih banyak.

Ishak mengoda kami yang pucat pasi. Dia menyanyikan lagu anak ayam. Istilahnya dia melepaskan satu anak ayam yaitu Fery tapi dapat 5 anak ayam lainnya yaitu kami. Busyettt dah ah ah.

Sementara para prajurit GAM itu malah senang karena ada yang perempuan yang ikut.

”Kana ureung taguen bu ke tanyo, betoi ken kak (Sudah ada orang yang masak nasi buat kita. Iya kan kak)?” kata
mereka sambil cengengesan.

Terlepas dari rasa takut, saya membalas.

”Lon hanjeut maguen. Ie mantong hangoh (saya tidak bisa masak. Air saja hangus),” kata saya yang ditimpali cekikikan mereka.

”Tanyoe jeut tasiap-siap (Kita siap-siap sekarang),” kata Teungku Ishak ke anak buahnya.

Teungku Ishak kemudian memasang stagen panjang di perutnya. Stagen itu yang membuat si panglima tidak kelelahan saat jalan jauh dan juga mencegah turun berok bila memanggul barang berat. Setelah rapi, dia membagi kami ke empat kelompok.

Dan olala.. saya dimasukkan ke kelompok si Teungku bersama Imam.

Saya berpikir keras bagaimana bisa saya lepas dari masalah ini. Sebuah ide muncul. Dan saya langsung menghampiri sang panglima yang sepertinya sedang bersiap-siap.

”Abusyik,” panggil saya. (Ini pertama kalinya saya memanggil beliau dengan panggilan non-formal itu) Ishak menoleh ke saya.

”Peu Nani? Ye? (kenapa Nani? Kamu takut?” tanyanya to the point seolah membaca pikiran saya.

Saya menatap sang panglima serius.

“Lon kon ye, tapi lon gohlom peugah bak mak, lon jak bak droun. Misal jih teukeudi na masalah, kiban? So tanggung jaweub ke mak lon? Droun? (Saya bukan takut, tapi saya belum bilang sama mamak saya pergi ke tempat anda. Kalau misalnya terjadi apa-apa gimana? Siapa yang tanggung jawab? Teungku Mau?)” kata saya.

Di luar dugaan Teungku Ishak tertegun. Kemudian dia menatap saya dan tersenyum. Senyum yang saya rasa tulus karena tidak ada sinar kesinisan disitu.

“Boh kajeut, Nani preh disinoe. Jadi jeut kalen kiban kondisi masyarakat watee ditamong tantra (jadi boleh, Nani Tunggu disini. Jadi bisa melihat kondisi masyarakat kalau tentara masuk),” katanya.

Para kelompok GAM itu berangkat satu-satu.

Meninggalkan saya dengan masalah baru yaitu bagaimana menghadapi tentara yang akan masuk. Saat itu saya berpikir apa keputusan saya tidak ikut Teungku Ishak sudah keputusan yang tepat? Lebih enak mana berhadapan dengan TNI atau GAM. Ini pilihan sulit.

Beberapa masyarakat memberikan saya minum dan selimut. Mereka juga mengajari saya bagaimana tiarap dan juga berlaku bila sedang diperiksa TNI. Mereka minta saya sabar dan banyak berdoa.

Saya terharu. Masyarakat. Mereka selalu menjadi korban. Tapi mereka begitu tabah dan tidak pernah mengeluh. Meski kadang rumah mereka dibakar, anak mereka ditangkap, kemudian terbunuh, atau harus membayar pajak pada GAM… Mereka tergencet diantara GAM dan TNI.
Sampai kapan mereka akan terus begitu?

Saya sudah pasrah. Tetapi Allah masih melindungi saya. Negosiasi teman-teman kami di Langsa membuahkan hasil. TNI akhirnya memutuskan memberi waktu 24 jam lagi untuk Gam melepaskan masyarakat.

Hanya dalam waktu 1 jam kondisi kembali aman, dan para GAM yang sudah masuk hutan itu kembali ke Lhok Jok. Saya melihat Teungku Ishak senyum-senyum saat kembali ke Meunasah.

”Na yang ye ke mak, (ada yang takut ke Mamaknya),” katanya menggoda saya ketika melihat saya menyambut kedatangannya.

Meskipun kondisi sudah aman, saya tetap tidak terima diintimidasi oleh MR X. Saya kemudian bicara pada Teungku Ishak saat saya menemukan dia sendirian.

”Lon hana teurimong aneuk buah droun yang ancam-ancam lon nyan (saya tidak terima anak buah anak yang ancam-ancam saya itu),” kata saya begitu duduk disebelah Ishak.

”Lon lakee meah beh. Awak nyan memang bingkeng. Tapi sebetoi jih get akai (saya minta maaf ya, mereka memang agak pemarah, tapi sebetulnya mereka orangnya baik kok),” kata Ishak menenangkan saya.

(NOTE: Saat masa damai saya mencoba men-trace keberadaan si MR X. Belakangan saya mendapat info kalo Mr X saat ini dipenjara di Philipina karena ketahuan menyeludupkan senjata untuk GAM hanya berselang
beberapa hari sebelum penandatanganan perjanjian damai. Saya tidak tahu harus senang atau malah kasihan)

Ishak kelihatannya senang karena semua berjalan sesuai rencana. Kenduri berhasil dilangsungkan. Masyarakat sudah diserahkan ke ICRC, dan Fery mau kembali ke Lhok Jok untuk acara.

Kami berpisah sore harinya. Ishak menjabat tangan saya. Kali ini lebih lama dan akrab.

”Pajan-pajan tanyoe ta meurumpok lom tapi laen watee lakee izin ilee bak Mak (Kapan-kapan kita ketemu lagi, tapi lain kali izin dulu sama mamak ya),” katanya sambil tersenyum.

Kali ini saya tidak bisa menahan tawa.

Ishak menghilang di kejauhan diikuti anak buahnya. Tidak ada pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Bulan September 2004 atau 4 bulan setelah pertemuan saya terakhir, saya mendapat info kalau Teungku Ishak sudah tertembak dan
meninggal bersama Istrinya Cut Rostina.

Saya sempat tertegun dengan informasi itu. Karena ingatan saya pada beliau begitu kuat. Saya tidak menyangka Ishak Daud akan pergi secepat itu padahal beberapa bulan ke depan Aceh akan berdamai… Ishak pergi tanpa pernah merasakan manisnya perdamaian seperti
para petinggi GAM lain yang kini bergelimang harta,jabatan dan istri yang cantik-cantik.

Terlepas dari kejadian terakhir di Lhok Jok, saya tetap mengagumi sang panglima sebagai komandan GAM terbaik. Buat saya beliau tidak hanya berkharisma dan alim, tetapi juga sangat menghormati perempuan. Untuk wartawan perempuan seperti saya, liputan di wilayah konflik berarti harus siap juga dengan gangguan, godaan bahkan terkadang pelecehan seks. Tetapi, beberapa kali bertemu dengan Teungku Ishak, saya merasa diperlakukan cukup baik dan terhormat.

Selamat Jalan Teungku Ishak, saya akan selalu mengenangmu…


Dengan mobil Water Cannon ini, Alm. ISHAK DAUD, Sang Pejuang yang Legendaris, diantar ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe, di Alue Awee, Buket Rata, pada tahun 1997, untuk disidangkan dengan Undang Undang Subversif, Alhamdulillah, Saya sempat mengabadikan moment yang sangat menarik ini, Saya senang dan bangga menjadi Pengacara beliau, ketika itu Indonesia masih dibawah kekuasaan Soeharto yang represif. "Ku lawan pemerintah nyou, bendera ku peu"ek urou nyou", begitu kata beliau ktk sidang akan dimulai. Acara sidang hari itu adalah "Pembacaan Nota Pembelaan Pribadi yang ditulis sendiri oleh beliau". Di ruang sidang Alm. ISHAK DAUD, membuka map yang dipegangnya, kemudian mengeluarkan secarik kain Merah yang bertuliskan "Aceh Sumatera National Lebiration Front (ASNLF)", dan dililitkan dikepalanya, kemudian mengeluarkan selembar bendera Aceh Merdeka dan membungkus dirinya, kemudian berjalan menyapa pengunjung sidang yang memenuhi ruang sidang, seterusnya dengan suara lantang beliau membaca Nota Pembelaannya, ISHAK DAUD MENGGUGAT INDONESIA. Ketika itu, tindakan tersebut adalah keberanian yang luar biasa, yang hanya milik Alm. ISHAK DAUD. Saya sangat mengaguminya, Dia adalah Lelaki Gagah Perwira, dengan Keberanian Luar Biasa, Menuntut Keadilan dan Persamaan Hak Untuk Semua Bangsa. Dia bisa dilupakan, tetapi sejarah akan tetap mencatatnya sebagai sebuah keabadian.(Saifuddin Acun Gani)

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.