Skip to main content

PUNCA KESENGSARAAN MENINGGALKAN QANUN DAN REUSAM!!

Berbilang abad, negeri bernama Aceh ini pernah jaya dengan sistem pemerintahan yang berbasis lokal. Sistem itu disebut-sebut termaktub dalam Qanun Al-Asyi.

Inilah Qanun Syar’ak Kerajaan Aceh pada zaman Sulthan Alauddin Mansur Syah dalam Darud Dunia di Istana Keumala Cahaya Darul Asyikin, Madinah Sultan Asyisyah Kubra Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya. Tercatat bahwa qanun ini bermula pada tahun 913 Hijriyah, tertanggal 12 Rabiul Awal, hari Senin, waktu subuh, saat yang baik lagi berkah.

Dengan nama Allah yang bersifat Maha Pemurah kepada sekalian makhluk dalam alam dunia ini dan yang bersifat Maha Pengasih kepada sekalian hamba yang mukmin pada hari akhirat di Yaumil Alqiyamah, serta sekalian puji semuanya kembali kepada Allah Ta’ala, Tuhan Rabbul Alamin, qanun ini dibuka. Salawat dan salam atas junjungan alam, penghulu sekalian Anbiya dan Rasul (as) dan atas keluarga yang turun temurun dari Fatimah Zahra binti Saidina Rasul dan atas sekalian sahabatnya, muhajirin dan ansar, khusus atas sekalian khalifah Rasulullah yang rasidin dan sekalian tenteranya, ammabákdu. Insya Allah ta-ála biáuni liah al alam bijahi al Nabi Sallallahu-álaihi wasallam.

Qanun itu syahdan dimulakan oleh “Sultan Alauddin” atas nama sekalian rakyat Aceh dan bangsa Aceh, yang beragama Islam lagi muslimin dan muslimah khususnya, jajahan takluk, umumnya, dengan rahmat Allah pemberi petunjuk taufik dan hidayah dari Allah ta-ála, Tuhan Rabbul Alamin. Sultan Alaudin berkata ;
“Kami semua bangsa Aceh sangat harap kepada Allah ta-ála, memohon ampun dengan keadilan yang sifat-Nya jalal dan sifat jamil, yaitu kekerasan dan keelokan Yang Maha Kekal selama-lamanya. Kami minta tolong pada Allah ta’ala Tuhan Rabbul Alamin, pemberi perlindungan kepada kami menyusun peraturan qanun Syarák Karajaan Aceh.”

Dalam proses pelahiran Qanun Al-Asyi, Sultan Alauddin sangat harap pada rahmat Allah swt. Berkali-kali ia mengulangi permohonan perlindungan kepada Allah, dunia-akhirat.

Disebutkan dalam qanun tersebut siapa-siapa yang mengikuti dan menuruti isi qanun itu, selamat sepanjang masa tiap-tiap zaman, insya Allah, dengan berkat syafaat Nabi saw., dan ijmak mufakat sekalian alim ulama Islam mazhab empat yang Ahli Sunnah waljamaah. Mereka disebut-sebut sebagai ulama syara’ beserta sekalian orang yang besar-besar.


Dalam pembukaan berikutnya, disinggung pula ;
( i ) yang bijaksana akal,
( ii ) beriman bicaranya dan zaki (pandai) faham,
( iii ) luas pandangannya dan halus perasaannya,
( iv ) mengambil satu keputusan dengan sabda mufakat dengan sahih muktamad
( v ) di hadapan majlis yang maha mulia.



Selanjutnya, di sana tertera kalimat ;

“Atas nama rakyat Aceh dan bangsa Aceh, Paduka Seri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughiyat Syah Johan Berdaulah Fil Alam dengan mengikuti Ahli Sunnah Waljama-Áh Mazhab empat, memegang kepada ajaran Allah dan Rasul yaitu firman dan hadist serta qiyas dan ijma’ ulama (ra), hukum Qanun Syarák Kerajaan kami terdiri di empat perkara: perkara hukum, perkara adat, perkara resam, perkara qanun.”

Keempat macam tersebut berada di bawah naungan agama Islam, syariat Nabi saw., sepanjang masa dalam pemeliharaan Allah swt. hingga hari kiamat dan dalam seluruh negeri Aceh, timur-barat-utara-selatan. Jelas bahwa dalam qanun itu disebutkan bahwa rakyat Aceh menganut aliran Ahli Sunnah Waljamaah, mazhab Imam Syafi’i.

Namun demikian, qanun itu juga memuat pengecualian, yakni orang yang alim-alim, tetapi jangan memberi fatwa dalam mazhab tiga dalam amalan syara’. Hal ini dimaksudkan rakyat Aceh tidak sampai kacau-balau.

“Maka dengan sebab itulah, kami dirikan mufti empat, dalam balèe khadam syari’ah Islam. Maka demikian kami, Sultan Alauddin, atas nama rakyat Aceh, berdaulat Hukum Syara’ Kerajaan Aceh. Sudah kami tetapkan dengan sabda mufakat mahkamah Qanun Syara’ Kerajaan Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya,” tulis qanun tersebut.

Beberapa Pasal

Pada bab pertama ayat satu nomor delapan dikatakan bahwa diwajibkan oleh Qanun Syara’ Kerajaan kepada sekalian rakyat Aceh, timu-barat-barôh-tunong, pada tiap-tiap gampông, hendaklah memilih geuchik dengan rapat mufakat, diambil satu keputusan tertentu dengan sahih-sah ijmák mufakat, sekalian dipilih seorang buat diangkat geuchik sagoe dengan cukup syarat.


Menurut Qanun Al-Asyi, syarat seorang diangkat jadi geuchik adalah :
(1) berumur sekurang-kurangnya 40 tahun,
(2) mengetahui hukum syarák syariat Nabi saw.,
(3) mengetahui hukum Qanun Syara’ Kerajaan,
(4) orang yang berketurunan baik,
(5) tidak ada permusuhan,
(6) berani atas yang benar,
(7) takut atas perbuatan salah.


Disebutkan pula, jika geuchik sudah terpilih berdasarkan syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih enam orang di kampung itu sebagai perangkat geuchik. Enam orang dimaksud adalah ;

(1) satu orang wakil (waki) geuchik dengan cukup syarat,
(2) empat orang tuha peuet dengan cukup syarat tersebut di atas
(3) satu imam rawatib meunasah sagoe.

Imam ini, selain syarat tujuh di atas, ditambah fasih baca Fatihah dan melaksanakan fardu ain serta fardu kifayah dalam gampông. Kendati demikian, dijelaskan pula bahwa geuchik wajib menyuruh dan meminta persetujuan orang kampung mengenai enam orang yang dipilihnya itu.

Pada bab kedua pasal pertama ayat dua nomor 10, terdapat penjelasan diwajibkan oleh Qanun Syara’ Kerajaan atas sekalian geuchik gampông beserta Imum Rawatib dengan wakil geuchik berjumlah tujuh orang pada tiap tiap gampông. Mereka bertujuh berhak memilih imum mukim. Tiap-tiap satu mukim itu satu masjid jumatan didirikan dengan ijma’ mufakat alim ulama Ahli Sunnah Waljama’ah. Terdapat pula sekurang-kurangnya ada tiga meunasah menurut tempatnya masing-masing.

Qanun Al-Asyi memberikan sejumlah syarat untuk diangkatnya seseorang jadi imum mukim.

(1) Bukan bekas abdi pemerdekaan orang (bukan bekas hamba sahaja).
(2) Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun.
(3) Mengetahui hukum syara’ Allah dan hukum syariat nabi saw.
(4) Orang yang berketurunan baik-baik.
(5) Tidak ada permusuhan dengan manusia.
(6) Berani atas benar.
(7) Takut atas perbuatan salah.
(8). Dapat menahan amarah.
(9). Mengetahui hukum qanun Syarák Kerajaan.
(10). Murah dua tangan rahim hati kepada fakir miskin.
(11) Dapat mengerjakan fardu ain dan fardu kifayah.
(12) Dapat jadi Imam sembahyang Jumat di mesjid.
(13). Dapat menjadi khatib untuk membaca khutbah pada hari Jumat.
(14). Bijaksana.
(15) Ada bersifat malu dan tidak tamak.
(16) Dapat sabar dengan merendahkan diri kepada sekalianmanusia.

Demikianlah syarat yang enam belas, diangkat hulubalang dengan menyuruh “Amar makruf nahi mungkar” dengan rapat mufakat bersama rakyat, memelihara kehormatan rakyat, dan jangan merampas harta rakyat dengan zalim. Siapa yang sudah jadi hulubalang, itulah kaki tangan Kerajaan Aceh dengan mengikut hukum syara’ Allah syariat Nabi saw. dan hukum Qanun Syara’ Kerajan Aceh Sultan Alauddin.

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

PANGLIMA ISHAK DAUD DIMATA SAYA

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh. Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh. Teungku Ishak Daud, Panglima GAM Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.