Skip to main content

HABIB ABDURRAHMAN AL-ASYI

Dari Monklayu ke Baitul Asyi 08/10/2011 Jamaah haji asal Aceh mendapat keistimewaan palayanan dibandingkan jamaah lainnya di nusantara. Pembagian uang pengganti sewa penginatapan dan transportasi selama di tanah suci hanya didapat oleh jamaah asal Aceh melalui Baitul Asyi (rumah Aceh). Oleh: Iskandar Norman Baitul Asyi merupakan tanah wakaf Aceh yang dikelola oleh badan wakaf di Arab Saudi. Badan wakaf yang mengelola tanah tersebut awalnya tidak mengetahui kemana keuntungan pengelolaan tanah itu akan disalurkan. Haji Pernah pemerintah Indonesia ingin mengurus dan mendapat hak atas tanah wakaf tersebut.
Alasannya, Aceh merupakan bagian dari negara Indonesia. Tanah wakaf tersebut pun berhak dinikmati oleh Bangsa Indonesia.
Namun permintaan itu ditolak. Keuntungan dari pengelolaan itu hanya akan diberikan kepada orang Aceh. Sejak tahun 2006 pembagian keuntungan dari pengelolaan tanah wakaf itu pun dilakukan. Jamaah haji asal Aceh diberikan sejumlah kompensasi uang oleh badan pengelola tanah wakaf tersebut dan hal itu terus berlangsung
setiap tahun. Pada tahun 2008, jamaah haji asal Aceh 4.282 orang mendapatkan pembayaran uang pengganti sewa rumah dari Nazhir (Badan Pengelola) tanah wakaf Habib Bugak Asyi.
Pembayaran uang itu senilai 337 dolar Amerika Serikat per jamaah dalam bentuk cek dan tafsir Al Usyr Al Akhir Qur’an Al Karim. Pemberian uang tersebut merupakan pembagian keuantungan dari pengelolaan Baitul Asyi. Uang tersebut diberikan atas wasiat Habib Bugak Asyi, dermawan asal Aceh yang mewakafkan tanahnya di Arab itu untuk kepentingan jamaah haji asal Aceh. Pembagian uang pengganti sewa rumah ini diberikan mulai tahun haji 1427 Hijriah (2006). Saat itu, uang yang dibagikan sebesar 6,5 juta riyal Saudi. Pada saat pembagian pertama, nilai uang yang dibagikan itu berdasarkan besaran uang sewa untuk pemondokan jamaah asal Embarkasi Aceh. Ketentuan itu didasarkan pada kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi. Keuntungan pengelolaan wakaf itu memang ditujukan untuk jamaah haji asal Embarkasi Aceh. 
Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al Fath. Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah. Pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik Sa’ud bin Abdul Azis, melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah wakaf Habib Bugak untuk masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah Habib Bugak digusur dengan pemberian ganti rugi. Badan pengelola tanah wakaf itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli dua lokasi lahan yakni di daerah Ajyad sekitar, 500 dan 700 meter dari Masjidil Haram. Kedua tanah ini kemudian menjadi aset wakaf.
Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit. Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua lahan ini dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh menerima Rp14,54 miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa rumah bagi 3.635 jamaah haji asal Aceh. Per jamaan mendapat sekitar Rp4.000.000. Dikenal Sebagai Teungku Syik Monklayu Habib Bugak Asyi bernama asli Habib Abdurrahman Bin Alwi Al Habsyi mewakafkan tanah tersebut kepada masyarakat Aceh pada 18 Rabiul Akhir 1224 Hijriah, dikenal sebagai
Teungku Syik Monklayu. Habib asal Aceh yang kaya raya tersebut mewakafkan tanah yang pada awalnya berada di daerah Qusyasyiah, antara tempat sa’i dengan Masjidil Haram. Habib mewakafkan tanah itu agar jamaah ahji asal Aceh tidak terlunta-lunta saat melaksanakan ibadah haji. Di hadapan hakim Mahkamah Syariah, Habib menyatakan keinginannya itu. Tanah itu selain digunakan untuk jamaah haji asal Aceh, ia juga mengatakan rumahnya bisa ditempati oleh orang Aceh yan berada di Mekkah. Namun karena perluasan Masjidil Haram pada tahun 1950-an, tanah tersebut digusur.
Pemerintah Arab Saudi membayar sejumlah ganti rugi. Uang pengganti itu diterima oleh Nazhir (badan pengelola) tanah wakaf yakni keturunan dari nazhir pertama yang ditunjuk Bugak Asyi, Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi. Ia kemudian membeli dua lokasi tanah di daerah Jiad dekat Masjidil Haram. Awalnya, jamaah haji asal Aceh tidak leluasa menempati rumah di Baitul Asyi karena sistem Syeikh ke Maktab (muasassah) terbentur dengan sistim penyelenggaraan haji pemerintah Indonesia. Dalam sistim Syeikh rumah disediakan oleh Syeikh, dan pemerintah Indonesia membayar rumah kepada Syeih, maka dalam sistem maktab, pemerintah Indonesia yang meyewa rumah. Baru setelah itu, pemerintah menyerahkan kepada Syeikh bersama dengan jemaah yang akan menempatinya untuk diurus oleh maktab. Masalah ini menimbulkan kerancuan bagi pengelola wakaf, sehingga mereka kemudian membicarakannya dengan pemerintah Indonesia. Upaya ini tidak mulus. Karena terhalang kebijakan perhajian yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi ketika itu, yang tidak memberi peluang untuk keterlibatan pihak swasta. Baru pada akhir tahun 1990-an, masalah ini ada jalan keluarnya, yakni, Nazhir diberi tugas untuk mengembangkan wakaf. Dan melalui pembicaran dengan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama Indonesia, dan Gubernur Aceh, disepakati bahwa untuk jangka panjang, Nazhir akan membangun rumah di Mekah yang dapat menampung semua jemaah haji asal Aceh. 
Namun, sebelum rumah tersebut selesai dibangun, maka Nazhir akan memberikan pengganti uang sewa rumah kepada jemaah haji asal Aceh. Besarnya uang penggantian itu, sebesar sewa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada pemilik rumah, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan Nazhir. Tahun 2008, dua dari tiga lokasi tanah yang dikelola Nazhir tengah direnovasi oleh dua investor. Kedua bangunan yang hanya berjarak sekitar seratus meter satu dan lainnya itu, diharapkan sudah bisa ditempati oleh jemaah haji asal Aceh. Habib Bugak Asyi atau Habib Abdurrahman Bin Alwi Al Habsyi, pada masa kesutanan Aceh ia mendapat berbagai gelar kehormatan, diantaranya: Teungku Syik Monklayu, Bentara Laksamana Di Monklayu, Teungku Habib, Qadhi, Imum dan Khatib, serta Waly al-Amri bi al-Darrury Wa al-Syaukah (Wakil Sultan Urusan Keagamaan dan Administrasi) Tim Acheh Red Cressent dan Hilmy Bakar yang melalukan penelitian Hubungan Aceh-Arab Pasca Penyebaran Islam menulis, dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam) dan Dr Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah. Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah. 
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagaiNadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak beliau Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho. Asset Baitul Asyi Mencapai Rp5,2 Trilyun Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 200 juta Riyal atau 5,2 trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah. Pada saat ini harta waqaf telah berupa aset, diantaranya Hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp13,5 milyar. Untuk musim haji tahun 1428 lalu, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar Rp25 milyar. 
Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al- Habsyi atau Habib Bugak yang mewakafkan hartanya untuk rakyat Aceh itu adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi, akibat lain dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala. Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik. Saat imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen. Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah pada surat bertahun 1224 H (1800 M).[]

Comments

Popular posts from this blog

Negara Oman

Tak ada kesulitan sama sekali mengurus dokumen keimigrasian ke Oman terkesan sangat lancar dan mudah. Pekan terakhir Desember tahun lalu, saya dan delegasi dari Undip yang hendak melakukan negosiasi kerja sama akademik dan join-research dengan Sultan Qaboos University (SQU) di Muscat, Oman cukup berkomunikasi jarak jauh dengan pihak universitas. Hanya saling ber-email semuanya sudah beres. Oman termasuk negeri yang unik karena mempunyai dataran tinggi dan rendah dengan nuansa gurun plus pantai. Itu kombinasi landskap yang cantik. Kita bisa menikmati Taman Riyam di pinggir pantai bersama keluarga atau teman sambil menikmati kebab dan chicken tika, kopi Omani atau Mc Donald maupun Pizza. Ada tempat rekreasi pantai untuk publik di Marina Bandar Rowdha berdekatan dengan Marine Science and Fisheries Centre (Pusat Penelitian Perikanan Oman). Sebagai negeri gurun pasir, Oman dua musim, yaitu dingin dan panas.

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong