Skip to main content

MEUGANG

Meugang merupakan tradisi unik di Aceh yang taka da di daerah lainnya. Tradisi ini terjadi tiga kali dalam setahun, yakni sehari jelang Ramadhan, sehari jelang hari raya idul fiti dan sehari jelang hari raya idul adha. Hari meugang meurupakan hari ramai-ramai menyantap daging. Tak ada perbedaan kaya dan miskin pada hari tersebut. Semua orang akan berusaha untuk memperolah daging meski hanya sekilo. Semiskin apa pun warga di gampong-gampong, akan mempersiapkan dana untuk menyambut hari meugang. Dari sini pula kemudian muncul pameo, sithon useha sibuleun pajoh (setahun berusaha sebulan menikmatinya).

Sibuleun pajoh yang dimaksud disini puncaknya pada meugang ramadhan, setahun berusaha akan dinikmati dalam sebulan penuh di bulan ramadhan. Tradisi meugang sudah melembaga sejak zaman dahulu di Aceh. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam, penguasa (raja) dan orang kaya (uleebalang) akan menyembelih sapi dan dagingnya dibagi kepada penduduk fakir, miskin dan anak yatim. Tujuannya, pada hari menyambut puasa tersebut seluruh rakyat harus menikmati masakan daging. Orentialis barat ahli ketimuran berkebangsaan Belanda Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjeher (Aceh di Mata Kolonial) menyebutkan, tradisi meugang dalam masyarakat Aceh mampu membantu para pejuang untuk bergerilya. Daging meugang dioleh melalui pengasinan dan pengawetan sederhana hingga tahan lama, seperti apa yang sekarang kita kenal sebagai dendeng.
Pada hari meugang, seluruh pelosok Aceh memotong sapi secara besar-besaran. Hanya sebagian dari daging tersebut yang dimasak oleh warga di rumahnya masing-masing, selebihnya diawetkan bisa dikonsumsi dalam waktu lama. Meugang juga membangun kebersamaan, sebelum hari meugang para perangkat gampong seperti geuchik, tuha peut, imuem dan tuha lapan akan melakukan musyawarah di meunasah membahas tentang dana untuk penyembelihan sapi di hari meugang. Bila dana tidak cukup akan dilakukan ripe atau meuripe, yakni mengumpulkan uang bersama untuk membeli sapi atau kerbau yang akan dipotong pada hari meugang. selain memperoleh daging dari hasil meuripe, masyarakat juga membeli daging yang dijual di pasar. Pasar daging dadakan di hari meugang inilah yang membuat harga daging di Aceh termahal dari daerah lainnya sepanjang masa. Penyembelihan sapi dilakukan di perkarangan meunasah oleh panitia yang telah ditunjuk oleh Geuchik dan Teungku Imum selaku pimpinan desa. Panitia akan membagi daging tersebut dengan porsi yang sama, mulai dari daging, tulang hingga jeroan. Jumlah pembagian tergantung jumlah penduduk kampung tersebut.
Namun selain meugang gampong, penyembelihan besar-besaran pada hari meugang biasanya dilakukan di lapangan terbuka di pasar. Para pria akan berbondong- bondong ke pasar membeli daging untuk dibawa pulang ke rumah. Bagi anak muda ini merupakan momen untuk menafkahi keluarga sebelum ia melangkah ke jenjang perkawinan. Sementara bagi lintobaro (pengantin pria) yang baru menikah momen meugang bisa merupakan uroe meubalah (berbalas) yakni membalas pemberian mertua pada hari pesta dengan mebawa pulang daging pada hari meugang. Bagi anak-anak, siang hari setelah daging-daging siap di masakkan, mereka akan meminta orang tuanya membungkus nasi dan lauk untuk dinikmati bersama rekan sejawat di tempat tempat tamasya, biasanya di pantai bagi masyarakat pesisir dan di perbukitan dan lubuk bagi masyarakat pegunungan. Tradisi makan bersama kawan-kawan ini disebut meuramien. Pada hari ini anak-anak yang meuramien akan menyantap makanan sepuasnya karena esok harinya mereka akan menjalani ibadah puasa yang harus menahan diri dari lapar dan dahaga. Sementara Ali Hasjmy menyebutkan, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, tradisi meugang dilaksanakan di Keraton Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama. Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu. Selain itu, Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan- karangan bunga yang ditempatkan di makam para sultan. Pada hari itu, sultan juga memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para janda. Biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari Meugang ini ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar-warga negara dan antar- manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Hingga kini meugang sudah menjadi tradisi yang melembaga dalam masyarakat Aceh yang dilakukan secara turun temurun. Melembaganya meugang di Aceh juga mempengaruhi dunia pemerintahan hingga sekarang. Satu atau dua hari sebelum meugang umum, para pegawai di dinas dan badan pemerintahan juga akan melakukan meugang, apa yang kemudian dikenal sebagai meugang peugawe (meugang pegawai). Setiap kantor dinas dan badan pemerintahan akan menyembelih sapi untuk dibagikan bersama pegawai lingkungan sekantor. Begitu juga dengan pihak swasta yang akan memberikan kupon daging atau uang meugang kepada karyawannya. Sebuah tradisi religi yang penuh kebersamaan. Nilai di Balik Tradisi Meugang Perayaan meugang di Aceh menarik perhatian berbagai pihak untuk mengupasnya. Selain unik dan religius juga mengandung nilai kebersamaan. Sebuah situs masyarakat melayu www.melayuonline.com malah mengupas nilai-nilai yang terkandung dalam tradis meugang. Dalam situs tersebut disebutkan, tradisi meugang tidak hanya memiliki makna lahiriah sebagai perayaan menikmati daging sapi, melainkan juga memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh. 1. Nilai Religius Pelaksanaan tradisi Meugang memang bermula dari upaya masyarakat Aceh untuk merayakan datangnya bulan puasa dan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi masyarakat muslim pada umumnya, datangnya bulan Ramadhan disambut dengan gegap gempita.
Tak terkecuali bagi masyarakat Aceh. Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan yang penuh berkah. Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan. Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Hari Raya Qurban. 2. Nilai Berbagi (Bersedekah) Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang Pemilu. Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat penjualan daging sapi. Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan. 3. Nilai Kerbersamaan Tradisi meugang yang meibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan- perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan. Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya, sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka. 4. Menghormati Orang Tua Tradisi meugang juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya.[]

Comments

Popular posts from this blog

Negara Oman

Tak ada kesulitan sama sekali mengurus dokumen keimigrasian ke Oman terkesan sangat lancar dan mudah. Pekan terakhir Desember tahun lalu, saya dan delegasi dari Undip yang hendak melakukan negosiasi kerja sama akademik dan join-research dengan Sultan Qaboos University (SQU) di Muscat, Oman cukup berkomunikasi jarak jauh dengan pihak universitas. Hanya saling ber-email semuanya sudah beres. Oman termasuk negeri yang unik karena mempunyai dataran tinggi dan rendah dengan nuansa gurun plus pantai. Itu kombinasi landskap yang cantik. Kita bisa menikmati Taman Riyam di pinggir pantai bersama keluarga atau teman sambil menikmati kebab dan chicken tika, kopi Omani atau Mc Donald maupun Pizza. Ada tempat rekreasi pantai untuk publik di Marina Bandar Rowdha berdekatan dengan Marine Science and Fisheries Centre (Pusat Penelitian Perikanan Oman). Sebagai negeri gurun pasir, Oman dua musim, yaitu dingin dan panas.

Kisah Warga Pedalaman Keturunan Raja Ubiet

"Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan" Pagi menjelang siang di Pucuk Krueng Hitam atau Gunung Ijo. Kabut masih enggan beranjak, sehingga sinar matahari belum menembus ke permukaan tanah. Namun, geliat masyarakat pedalaman keturunan Raja Ubiet, telah beranjak menuju ladang yang merupakan satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat. Warga pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut membantu sang suami.

SEJARAH PERNYATAAN PERANG ACEH DENGAN BELANDA

Jika dibuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26 Maret 1873 merupakan akar munculnya persoalan Aceh, yang masih terasa imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda Aceh. Pernyataan perang ini dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat Malaka tersebut, dan melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tak hanya itu, tindakan kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatic dengan Kerajaan Turki serta dengan beberapa Negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika membuat kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong